MediaUmat.info – Setelah mengulas tentang demokrasi yang tak lebih dari sebuah ilusi, Wartawan Senior Edy Mulyadi menyebut kapitalisme justru menciptakan kemiskinan struktural dan krisis sistemik.
“Kapitalisme justru menciptakan kemiskinan struktural dan krisis sistemik,” ujarnya dalam sebuah tulisan Seri Kegagalan Sistem-sistem Global Bagian 1.2 berjudul Kapitalisme: Mesin Pemiskinan dan Krisis Tanpa Akhir, yang diterima media-umat.info, Ahad (4/5/2025).
Menurutnya, berpangkal pada spekulasi, utang ribawi dan kerakusan pasar bebas, kapitalisme gagal menghapus kemiskinan dan justru menciptakan ketimpangan sosial, ekonomi, dan politik yang menyebabkan kelompok tertentu tidak dapat memanfaatkan potensi yang ada untuk meningkatkan taraf hidup.
Hal ini bisa dilihat dari aspek kerusakan lingkungan yang berakibat seperti gagal panen bagi petani karena cuaca ekstrem, nelayan kehilangan tangkapan ikan karena laut telah tercemar.
“Logika utamanya adalah akumulasi keuntungan maksimal dalam waktu sesingkat-singkatnya. Maka, eksploitasi brutal atas alam menjadi tak terelakkan,” tulisnya lebih lanjut.
Pun masyarakat kota yang gampang sakit, menurut Edy, akibat udara yang mengandung polutan berbahaya dari cerobong-cerobong industri yang makin banyak jumlahnya. Sementara korporasi besar tetap menikmati insentif, relaksasi pajak, dan berbagai kemudahan lainnya.
Sedangkan terkait krisis sistemik atau krisis yang berdampak luas dan serius pada ekonomi, ungkap Edy, kapitalisme justru mendorong sektor keuangan tumbuh tak terkendali, dan seringkali tidak diiringi dengan stabilitas dan keseimbangan.
Bahkan, tegasnya, pertumbuhan seperti inilah yang menyebabkan masalah seperti inflasi, ketidakpastian investasi, dan peningkatan kesenjangan sosial seperti disinggung sebelumnya.
“Lihat saja sejarahnya: krisis besar tahun 1929, Great Depression, krisis minyak 1973, krisis Asia 1997, krisis keuangan global 2008. Juga krisis rantai pasok dan inflasi global pasca-pandemi Covid-19,” tulisnya, menguraikan.
Di Indonesia sendiri, sebut Edy, krisis moneter 1998 dan jebakan utang saat ini adalah contoh nyata.
“Demi membayar bunga dan cicilan utang luar negeri, APBN dikorbankan. Sementara sektor vital seperti pendidikan, kesehatan, dan pangan justru dibiayai seadanya,” sindir Edy, seraya menyebut negeri ini terjerat dalam jebakan utang abadi.
Dalam APBN 2025, total pembayaran utang direncanakan mencapai Rp1.353,2 triliun, terdiri dari pembayaran bunga Rp552,9 triliun dan cicilan pokok Rp800,3 triliun. Angka ini merupakan 45 persen dari total pendapatan negara yang ditargetkan sebesar Rp3.005,1 triliun. Sementara volume belanja APBN 2025 sendiri mencapai Rp3.621 triliun.
Melihat betapa besar porsi APBN habis hanya untuk membayar bunga utang plus cicilan pokoknya, maka tak heran jika pelayanan negara kepada rakyat belepotan, Kata Edy, dari pengendalian harga bahan pokok saja sudah terbukti ketidakstabilannya.
Belum lagi harga-harga kebutuhan pokok yang melangit, ditambah sisa anggaran APBN yang sebagian besar habis untuk membiayai birokrasi semacam belanja pegawai yang direncanakan sebesar Rp513,22 triliun. Angka ini naik sekitar 11,36 persen dibandingkan outlook APBN 2024 yang sebesar Rp460,86 triliun. “Semua masih diperparah dengan korupsi yang merajalela,” ucapnya lebih lanjut.
Harus Diganti
Karena itu bicara tentang reformasi, beber Edy, sebenarnya kapitalisme tak bisa diperbaiki baik dengan green capitalism, inclusive economy, ESG (environmental, social, governance) atau pajak karbon, tetapi harus diganti.
Sebab, menurutnya, permasalahannya bukan sekadar pada teknis distribusi atau etika bisnis, tetapi pada asas dan paradigma sistem itu sendiri.
Adalah Islam, yang kembali ia tegaskan, mempunyai konsep kepemilikan umum meliputi tambang besar, hutan, dan air, yang tidak boleh dimiliki individu atau korporasi.
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal, air, padang rumput, dan api (energi),” sebut Edy mengutip HR Abu Dawud dan Ibnu Majah.
Artinya, tekan Edy, mau tak mau dunia membutuhkan sistem Islam yang menempatkan negara sebagai pengelola amanah serta mengarahkan ekonomi berkeadilan ke arah keberkahan.
Artinya pula, tegas Edy lagi, di tengah dunia sedang mencari jalan keluar dari kegagalan kapitalisme, Islam menawarkan bukan sekadar jalan, tetapi peta besar peradaban.
“Islam sebagai agama sekaligus sistem ekonomi yang adil, stabil, dan manusiawi,” pungkasnya.[] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat