#KaburAjaDulu dan Relevansi Nasionalisme Terkini

Tagar KaburAjaDulu populer belakangan ini. Meski sebenarnya pergi ke luar negeri entah itu untuk belajar, bekerja, atau pindah kewarganegaraan sudah lama terjadi. Barangkali yang menjadikannya populer adalah banjirnya ungkapan ketidakpuasan atas kondisi di dalam negeri yang menyertai tagar ini. Ditambah lagi dengan berbagai respons tak simpatik dari para petinggi negeri. Ibarat bensin yang disiramkan ke kobaran api. Respons tersebut justru makin mengobarkan antipati. Atas berbagai ketidakberesan  yang dipertontonkan oleh mereka yang diamanahi mengurus negeri ini.

Memang kabur ke luar negeri bukanlah solusi untuk memperbaiki keadaan negeri. Namun bagi banyak orang, meninggalkan Indonesia adalah ekspresi. Untuk memprotes ketidakadilan, perilaku koruptif, buruknya kualitas layanan publik, situasi ekonomi yang stagnan, dan sikap represi yang tak mau diintrospeksi. Tidak sedikit juga yang justru menjadikan momen keluar negeri untuk menimba ilmu dan pengalaman agar sekembalinya nanti dapat berbuat lebih bagi negeri. Dan barangkali yang paling banyak adalah yang menjadikan keberangkatannya keluar negeri sebagai jalan keluar penyambung hidup diri. Saat lapangan kerja semakin sempit, keahlian dan profesionalisme tak dihargai, dan peluang ekonomi dimonopoli “orang dalam” dan oligarki. Di saat upah rendah tak mampu lagi menutupi biaya hidup yang semakin meninggi. Maka peluang kerja di luar, yang menawarkan upah lebih tinggi, dengan kualitas layanan publik yang mumpuni, menjadi penarik hati.

Bekerja di luar negeri bukannya tanpa risiko dan pertaruhan diri. Banyak pekerja Indonesia yang menjadi korban perdagangan orang di Malaysia, Myanmar, dan Kamboja. Dipekerjakan di pusat kejahatan judi daring, dipaksa menjadi PSK, dan terjebak di kapal-kapal besar penangkap ikan di lautan lepas. Mereka menjadi budak di tengah dunia modern saat ini. Namun ketika harapan di tanah air semakin kecil, mereka yang keluar sesungguhnya sedang bertarung memperjuangkan hidup. Toh hidup tak harus dibatasi. Oleh garis khayali di atas peta administrasi.

Sayangnya, karena merasa tersudutkan, para pembesar negeri justru mencap mereka yang berjuang keluar negeri sebagai bukti kegagalan nasionalisme. Cari selamat sendiri, tidak peduli nasib bangsa sendiri. Seolah mereka para petinggilah yang paling cinta negeri dan mau berkorban sepenuh hati. Padahal jika diamati, tagar ini justru mempertanyakan bukti konkret dari petinggi negeri atas nasib rakyat yang mereka pimpin saat ini. Karena yang tampak di mata rakyat, para  pembesar negeri sibuk berebut kekuasaan dan kursi. Kekayaan negeri dijarah sendiri. Sementara penjarah asing dari luar negeri justru dibiarkan melenggang pergi. Rakyat kehilangan kepercayaan bahwa negara mampu membantu mereka dalam memenuhi penghidupan sehari-hari.

Faktanya hari ini ekonomi dunia bergerak tak kenal sekat administrasi. Manusia bermigrasi dari satu tempat ke tempat lain yang memberikan janji. Fenomena keluar dari negeri sendiri pun sesungguhnya tidak di Indonesia saja terjadi. Saat Donal Trump memenangkan Pilpres AS, warganya yang tidak suka dengan perilaku dan kebijakan Presidennya memilih Kanada, Eropa, atau Australia sebagai tempat membawa diri. Para pekerja dari China, India, Eropa, dan Amerika juga terbiasa melanglang dunia ke tempat yang menjanjikan peluang penghidupan lebih baik.

Pertanyaannya, masih relevankah nasionalisme sempit begini? Haruskah batas negeri mengekang orang untuk bekerja, mencari penghidupan, dan berbuat baik hanya di negara asalnya sendiri. Salahkah mereka berbuat baik di mana saja di permukaan bumi ini. Apalagi jika di negerinya sendiri kesempatan untuk berpenghidupan baik tergilas keserakahan perselingkuhan penguasa dan oligarki.

Islam memiliki karakter yang tidak terkungkung sekat nasionalisme negeri. Menyebarkan rahmat ke seluruh alam adalah misi. Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam (Al-Anbiyā’  [21]:107). Islam dibawa dan disebarkan untuk semua manusia di muka bumi. Tidaklah Kami mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali kepada seluruh manusia (Saba’  [34]:28). Islam juga mengajarkan persaudaraan yang melampaui batas suku, ras, bangsa, dan negeri. Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara (Al-Ḥujurāt [49]:10).

Kepemimpinan politik Islami telah mampu mengelola wilayah raksasa lintas benua dan lautan yang terhampar di dalamnya ratusan negeri. Wilayah daulah meliputi daerah-daerah di benua Afrika, Asia, dan Eropa pada masa kekhilafahan Utsmani. Saat itu, benua Amerika dan Australia belum lagi tersentuh peradaban yang berarti. Maka semua wilayah dan rakyat dicintai. Diurusi sepenuh hati. Bukan sebagai wilayah yang dijajahi. Tapi sebagai bagian dari tubuh negara sendiri. Jika dakwah menyebarkan Islam menjadi kebijakan luar negeri, pemberlakuan syariat secara total dilakukan di dalam negeri. Inilah yang membuat keadilan dirasakan seantero negeri, yang lemah terlindungi, rakyat tercerdasi, yang berbeda keyakinan tetap terlayani, dan kekayaan dengan tepat terdistribusi.

Maka semangat berjuang mengubah kondisi negeri harus terus terpatri di dalam hati. Terlepas apakah dilakukan oleh mereka yang di dalam ataupun di luar negeri. Hingga tercapai nanti, Islam tegak berdiri.[].

Muhammad K (Founder ISGOV – Islamic Governance Initiative)

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: