MediaUmat – Jurnalis Senior Lukas Luwarso menyoroti tajam reshuffle kabinet Presiden Prabowo yang dinilainya sekadar permainan psikologis untuk meredam kegelisahan publik, tanpa menyentuh akar persoalan bangsa.
“Contoh lain, kabinet ini… saya masih melihat itu layanan psikologis publik, karena belum ada kebijakan-kebijakan yang sifatnya meyakinkan,” tegasnya dalam siniar Konglomerat Bersatu, Lebih Kuat Dari Presiden! di kanal YouTube Bongkar Abis, Rabu (24/9/2025).
Dengan kata lain, jelasnya, reshuffle kabinet hanyalah etalase politik gonta-ganti pejabat yang tidak menyentuh akar persoalan.
“Kalau kita bongkar pasang kabinet, ya itu hanya sekadar bongkar pasang. Tidak ada hal-hal yang menyentuh substansi dari problem-problem bangsa,” jelas Luwarso.
Dengan tegas ia menyatakan, reshuffle kabinet tidak menyelesaikan masalah, melainkan menelanjangi praktik klientelisme yang kian vulgar dan menyerupai transaksi politik semata.
“Yang terjadi kan politik klientelisme makin terbuka, makin vulgar, dan itu sebetulnya memperlihatkan bahwa reshuffle ini bukan jalan keluar,” tambahnya.
Ia pun mencontohkan program-program populis yang justru membuka borok klientelisme kekuasaan, seperti program Koperasi Merah Putih yang sejak awal mandek karena tidak ada dana.
“Ini Koperasi Merah Putih awalnya memang bagus, tapi tersendat-sendat selama ini karena tidak ada dana,” ujarnya.
Luwarso juga menyorot kegagalan program makan bergizi gratis (MBG) yang berujung banyak tragedi.
“Ada lebih dari 5.600 anak sekolah keracunan dan kualitas makanannya buruk… operator MBG adalah orang-orang lingkaran Presiden Prabowo,” bebernya.
Persoalan Utama
Sejalan dengan itu, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menegaskan, persoalan utama bukan siapa yang duduk di kabinet, melainkan struktur ekonomi yang dikuasai segelintir konglomerat.
“Perekonomi kita ini dikendalikan hanya beberapa orang kok, itu ya orang-orang yang punya daya untuk mempengaruhi pasar,” tegas Budiawan yang juga menjadi pembicara dalam diskusi tersebut.
Karena itu, ia menekankan solusi bukan sekadar pergantian menteri, melainkan economic reform (reformasi ekonomi) yang menyentuh akar persoalan: redistribusi kekayaan, penguatan kelas menengah, dan perubahan fundamental struktur ekonomi.
“Yang dimaksud dengan economic reform adalah struktur secara fundamental kita harus benahi… bagaimana kelas menengah bisa bangkit,” jelasnya.
Ia mengingatkan, ketimpangan sosial yang makin parah adalah bom waktu bagi stabilitas negara.
“Kita punya kesenjangan sosial sebetulnya sudah sangat parah… gen koefisien berdasarkan pendapatan sudah lebih dari 0,5 dan 0,55,” ungkap Budiawan.
Budiawan bahkan memperingatkan risiko kegagalan negara jika struktur ekonomi yang timpang itu dibiarkan.
“Kalau tidak ada economic reform… kita akan menjadi failed state (negara gagal). Itu sudah jelas arahnya,” tandasnya.
Tanpa perombakan struktural, tambah Budiawan, yang akan terjadi adalah business as usual [segala sesuatu berjalan seperti biasa, meskipun ada masalah, krisis, atau perubahan di sekitarnya], dengan para konglomerat tetap menjadi penguasa sesungguhnya.
“Kalau itu tidak segera dibenahi… yang akan terjadi adalah business as usual. Dan merekalah sebetulnya pemilik negara ini yang sesungguhnya,” tegasnya.[] Zainard
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat