Jokowi Resah Defisit Stok Pangan, Mana Janji Nawacita Swasembada Pangan?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memerintahkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk membuka lahan persawahan baru demi mencegah ancaman krisis pangan yang terjadi akibat COVID-19 atau pandemi virus corona. Hal itu dikatakan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto. Ketua Umum Partai Golkar itu menerangkan saat ini lahan basah dan gambut di Kalimantan Tengah lebih dari 900 ribu hektare (ha). “Sudah siap 300 ribu hektare. Juga yang dikuasai BUMN ada sekitar 200 ribu hektare,” kata Airlangga dalam video conference, Selasa (28/4/2020).

Hal ini menindaklanjuti pernyataan Presiden Jokowi menyampaikan bila Indonesia mengalami defisit stok pangan. Menurut laporan yang diterima Jokowi, sederet bahan pangan masih defisit di beberapa provinsi. Contohnya stok beras di 7 provinsi defisit.

Lalu stok jagung terjadi defisit di 11 provinsi, stok cabai besar defisit di 23 provinsi, stok cabai rawit defisit di 19 provinsi. “Stok bawang merah diperkirakan juga defisit di satu provinsi dan stok telur ayam defisit di 22 provinsi,” papar Jokowi.

Pernyataan ini jelas mempermalukan pemerintah sendiri, karena pada pertengahan Maret lalu Presiden menyatakan stok pangan aman. “Saya kemarin sudah cek di Bulog, saya melihat stok kita lebih dari cukup,” kata Presiden Jokowi dalam rapat terbatas lewat video conference dari Istana Merdeka, Jakarta, pada Maret lalu.

Ia menambahkan, stok pangan dalam negeri masih akan bertambah. Sebab, pada bulan Maret ini para petani akan melaksanakan panen raya. “April juga masih ada panen raya sehingga penyerapan oleh Bulog juga agar diatur,” kata dia.

Namun pada 2 Mei kemarin Presiden Jokowi menyatakan sebaliknya. Maka ia memerintahkan para menteri dan pejabat terkait untuk mencetak sawah baru dengan cara membuka lahan basah atau lahan gambut.

Komentar:
Ketahanan pangan sedari awal pemerintahan Jokowi adalah janji yang kerap diingkari. Sejak kampanye hingga awal pemerintahannya, dengan program Nawacita, Jokowi berjanji untuk melakukan swasembada pangan dan mengurangi impor. Namun impor bahan pangan justru semakin kencang. Beras misalnya sebanyak 2,8 juta ton dan jagung sebanyak 100 ribu ton di tahun 2018 dan 180 ribu ton di 2019. Begitupula berbagai produk pertanian lain terus diimpor mengakibatkan sejumlah produk pertanian dalam negeri seperti daging ayam, gula, dan garam nyaris kolaps.

Entah apakah Presiden bisa merasa malu dan bersalah menyatakan Indonesia alami defisit stok pangan, dan memerintahkan pembukaan lahan baru. Padahal program pembukaan lahan baru itu berpotensi menimbulkan masalah.

Pertama, pemerintah sudah tak punya anggaran untuk mencetak sawah baru. Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan, Sarwo Edhy mengatakan bila Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian sudah menganggarkan Rp 209,8 miliar untuk cetak sawah dan survei, Investigasi dan desain (SID) dengan target luas 10 ribu hektare.

Rencana itu gugur karena kebijakan realokasi anggaran yang dikeluarkan Presiden. Anggaran hanya tersisa 10,8 miliar untuk 5 provinsi yang sudah melakukan SID, yakni Lampung, Kaltara, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, dan Kalimantan Tengah.

Di sisi lain, pemerintah juga belum mengaudit anggaran program cetak sawah 2014-2019 yang menghabiskan anggaran triliunan rupiah. Keberhasilan program cetak sawah periode lalu juga belum terasa manfaatnya, buktinya Indonesia masih terus mengimpor beras.

Kedua, Mencetak sawah di kawasan seluas 900.000 hektare di Kalimantan Tengah, bukanlah pekerjaan yang mudah. Rezim Orde Baru sudah pernah mencoba mencetak sawah di kawasan Kalimantan akhirnya gagal. Padahal program itu sudah menghabiskan anggaran Rp 1,6 triliun. Apakah pemerintahan Jokowi tidak mau belajar dari kegagalan tersebut?

Ketiga, janji swasembada pangan Jokowi sebenarnya diciderai oleh kebijakannya sendiri. Sepanjang pemerintahannya Jokowi telah membuat kebijakan pembangunan infrastruktur yang memusnahkan ribuan hektar lahan produktif milik rakyat.

Riset Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) menyebutkan, ribuan lahan pertanian beralih fungsi akibat pembangunan Tol Trans Jawa. Umumnya lahan pertanian itu beralih fungsi menjadi tempat peristirahatan, pembangunan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), bahkan tidak menutup kemungkinan beralih menjadi bangunan hotel.

Akibat pembangunan infrastruktur tersebut Indonesia kehilangan lahan persawahan di beberapa daerah. IDEAS mencatat, sepanjang 2013-2018 terjadi konversi lahan sawah seluas 181 hektar (ha). Sepuluh kabupaten kehilangan sawah terbesar, di antaranya yaitu Banyuwangi 21.730 ha, Bandung 9.374 ha, dan Serang 7.713 ha.

Pada 2015-2018 dari total jalan tol yang dibangun sepanjang 631,3 km, estimasi lahan pertanian yang dialihkan untuk jalan tol yaitu sekitar 4.135 ha, sedangkan 44.192 ha lahan pertanian dikonversi untuk pintu gerbang tol. Tahun ini, jalan tol yang dibangun 208,8 km, sebanyak 1.386 ha lahan pertanian telah beralih menjadi jalan tol dan 14.618 ha dikonversikan untuk pintu gerbang tol.

Alhasil, defisit stok pangan dampak pandemi covid-19 takkan bisa diselesaikan oleh Jokowi dengan cara mencetak sawah baru. Kelihatannya Jokowi akan mengambil langkah pragmatis dengan terus mengimpor bahan pangan, ketimbang memompa sektor pertanian yang sudah babak belur akibat ketidakberpihakan pemerintah sendiri pada para petani.

Sebagai bangsa besar, dengan wilayah pertanian yang amat luas, perairan dan laut yang luas, harusnya rakyat Indonesia tidak pantas mengalami defisit pangan, ataupun buat kebijakan impor. Namun kebusukan sistem kapitalisme melahirkan kebijakan yang berprinsip menghasilkan uang cepat ketimbang memikirkan dampak jangka panjang. Mengorbankan lahan pertanian untuk infrastruktur yang hanya dinikmati investor dan segelintir rakyat saja.

Semestinya lahan pertanian dipelihara tidak dikonversi menjadi infrastruktur melainkan sekedarnya saja. Kemudian tata niaga pertanian dibersihkan dari mafia perdagangan yang menguasai pasar dan tidak memberikan kesejahteraan pada para petani.[]Iwan Januar/LS

Share artikel ini: