Pada 21 November 2024, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dan mantan Menteri Perangnya, Yoav Galant. Mereka didakwa atas sejumlah kejahatan perang, termasuk pembunuhan, penganiayaan, dan penggunaan kelaparan sebagai metode perang. Sidang Pra-Peradilan ICC menilai bahwa ada alasan cukup untuk meyakini mereka bersalah atas kejahatan-kejahatan ini.
Berdasarkan Pasal 86 Perjanjian Pendirian Roma, Republik Federal Jerman sebagai negara anggota ICC seharusnya bekerja sama penuh dalam penuntutan ini, yang berarti mereka wajib menangkap para terdakwa ketika memasuki wilayah mereka. Pakar hukum internasional, Kai Ambos, menekankan bahwa ini juga berlaku untuk Netanyahu, yang seharusnya diperlakukan dengan cara yang sama seperti Presiden Rusia Vladimir Putin yang juga dituntut oleh ICC.
Namun, pada 22 November, pemerintah Jerman mengeluarkan pernyataan yang mengungkapkan bahwa mereka “mencatat” keputusan ICC namun tidak akan mengambil langkah lebih lanjut kecuali Netanyahu dan Galant memasuki wilayah Jerman. Pemerintah Jerman membenarkan posisinya dengan alasan hubungan historis terkait Holocaust dan tanggung jawab besar yang mereka rasakan terhadap Israel. Partai Uni Demokratik Kristen/Uni Sosial Kristen di Bundestag bahkan mengungkapkan bahwa “tidak dapat dibayangkan” seorang Perdana Menteri Israel yang terpilih secara demokratis akan ditangkap di Jerman.
Keputusan ini memunculkan kritik terhadap standar ganda yang diterapkan oleh Jerman dalam menanggapi hukum internasional. Jerman yang sebelumnya berkomitmen mendukung ICC dan menegakkan hukum internasional, kini terlihat hanya menggunakan hukum internasional bila sesuai dengan kepentingan politiknya. Kritik juga datang dari mantan Menteri Kehakiman Jerman, Marco Buschmann, yang tahun lalu menyatakan bahwa Jerman wajib menangkap Putin jika ia memasuki wilayah Jerman dan menyerahkannya kepada ICC, sebuah pernyataan yang tidak terlihat saat ini dalam kasus Netanyahu.
Posisi Jerman ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai objektivitas dan konsistensi hukum internasional, di mana negara-negara besar dan Barat menggunakan sistem ini sesuai dengan kepentingan mereka sendiri. Hizbut Tahrir, sebuah organisasi internasional, memperingatkan bahwa keputusan Jerman ini dapat merusak reputasi negara tersebut dan menempatkannya dalam posisi yang tidak rasional dalam menghadapi krisis geopolitik yang semakin berkembang.
Kantor Media Hizbut Tahrir di Negara-Negara Berbahasa Jerman