MediaUmat – Isu intoleransi yang kembali mencuat dan kerap kali secara tendensius diarahkan kepada umat Islam, seolah merekalah pelaku utamanya dinilai Direktur Forum Ideologi dan Wacana Strategis (FIWS) Farid Wadjdi bukan hanya tidak adil, tetapi juga bagian dari propaganda jahat terhadap umat Islam.
“Ini bukan hanya tidak adil, tetapi juga bagian dari propaganda jahat yang telah lama digulirkan yakni penggiringan opini bahwa umat Islam intoleran, radikal, bahkan teroris,” ujarnya kepada media-umat.com, Rabu (6/8/2025).
Oleh karena itu, ujar Farid, perlunya meluruskan kerangka berpikir dan mengungkap fakta secara seimbang dan jujur terkait isu intoleransi tersebut.
Ia pun menyampaikan delapan poin untuk meluruskannya. Pertama, isu intoleransi jangan diarahkan terhadap umat Islam. Ia mempertanyakan, mengapa intoleransi selalu dirujuk pada reaksi sebagian umat Islam di daerah mayoritas.
“Mengapa tidak pernah disorot intoleransi yang dialami umat Islam di Papua, di Bali, dan beberapa daerah lain di mana umat Islam menjadi minoritas? Sebab banyak kasus pembangunan masjid, kegiatan dakwah, dan pengajian dibatasi, ditolak, atau bahkan diganggu,” ujarnya.
Kedua, pengaitan isu intoleransi dengan Islam adalah propaganda sistematis. Farid melihat, tuduhan intoleransi, radikalisme, hingga terorisme kepada umat Islam bukanlah hal baru. Ini adalah narasi politik global yang diimpor dan dipropagandakan oleh elite-elite sekuler untuk membungkam suara Islam dan membatasi ekspresi keimanan umat Islam.
Hal ini, sebutnya, terjadi ketika umat Islam menolak aktivitas keagamaan yang dianggap tidak sesuai dengan kearifan lokal dan prosedur legal, maka langsung dicap intoleran. Padahal, reaksi itu lahir dari kepekaan terhadap syariat dan upaya menjaga akidah umat Islam di wilayah mayoritas Muslim dikarenakan maraknya kristenisasi.
Ketiga, ungkap juga pelanggaran dari pihak gereja. Farid menyayangkan mengapa tidak dibuka secara terang-terangan banyak kegiatan keagamaan non-Muslim yang dilakukan tanpa izin resmi, atau bahkan dengan memalsukan izin sebagaimana terjadi dalam kasus Gereja Yasmin di Bogor.
Bahkan, sebutnya, perkara hukum ini pernah sampai ke Mahkamah Agung, yang memutuskan bahwa pembangunan gereja tersebut memang melanggar aturan.
“Apakah pelanggaran semacam itu bukan problem?” ucapnya.
Keempat, hormati perasaan umat Islam sebagai mayoritas. Menurut Farid, ketika suatu daerah secara historis, kultural, dan demografis adalah mayoritas Muslim, maka aktivitas yang menimbulkan gejolak harus dihindari, terutama jika dilakukan tanpa izin atau terkesan provokatif.
“Jangan justru menyulut api di tengah jerami dan menyalahkan umat Islam sebagai intoleran saat mereka bereaksi,” tegasnya.
Kelima, waspadai isu intoleransi dipakai untuk melegalkan agenda liberalisasi agama. Farid mengungkapkan, isu intoleransi tidak hanya dijadikan senjata politik, tetapi juga digunakan sebagai alat untuk memaksakan program propaganda moderasi beragama yang hakikatnya adalah proyek peliberalan ajaran Islam.
Ia memandang, tujuannya jelas yakni menjauhkan umat dari akidah dan syariah Islam yang kaffah. Dan ini adalah bagian dari agenda besar internasional yang didukung oleh kekuatan Barat dan jaringan LSM, yang hendak memaksakan paham pluralisme, relativisme agama, dan sekularisme kepada umat Islam.
Keenam, umat Islam wajib waspada dan menolak generalisasi. Farid menekankan, umat Islam harus menolak segala bentuk generalisasi dan tuduhan kolektif. Jangan ada standar ganda.
“Oleh karena itu, pembelaan terhadap Islam bukan berarti intoleran, tapi justru adalah bentuk keberanian menjaga kemurnian ajaran dan kemaslahatan bersama,” terangnya.
Ketujuh, umat Islam telah sangat toleran. Farid menilai, umat Islam Indonesia selama ini sudah menunjukkan toleransi luar biasa.
Ia mencontohkan, gereja-gereja besar berdiri di tengah kota, bahkan di jantung kota-kota Muslim, tanpa gangguan apa pun. Kemudian ibadah Natal, Paskah, dan kegiatan keagamaan umat Kristen rutin berlangsung damai dan aman, tanpa gangguan dari kaum Muslim.
Justru kata Farid, yang sering dipermasalahkan adalah rumah doa liar atau tempat ibadah yang belum memiliki izin resmi, namun dipaksakan beroperasi.
“Ini bukan persoalan agama, tapi persoalan legalitas dan ketertiban umum,” bebernya.
Kedelapan, Farid menegaskan, jika benar-benar ingin membangun kehidupan beragama yang harmonis, maka tegakkan hukum secara adil dan jangan jadikan umat Islam sebagai kambing hitam. Jangan ada pembiaran terhadap pelanggaran hukum oleh siapa pun, dan jangan pula ada pembungkaman terhadap keprihatinan umat Islam yang sah.
“Umat Islam telah membuktikan sikap tolerannya selama ratusan tahun. Namun toleransi bukan berarti membiarkan pelanggaran terjadi, atau tunduk pada standar ganda yang disusun oleh agenda-agenda global,” pungkasnya.[] Agung Sumartono
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat