MediaUmat – Meski Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah lembaga tinggi negara, para anggotanya merupakan rakyat yang kebetulan mewakili rakyat dalam hal menyuarakan kepentingan rakyat, sehingga dinilai tak perlu diistimewakan sedemikian rupa di luar batas kewajaran.
“Wakil rakyat juga adalah rakyat biasa yang tidak perlu diistimewakan sedemikian rupa di luar batas kewajaran,” ujar Founder Islamic Governance Initiative (ISGOV) Muhammad K kepada media-umat.com, Selasa (26/8/2025).
Menurutnya, perlakuan biasa tersebut banyak diberlakukan di banyak negara selain Indonesia. Artinya, banyak negara yang tak seroyal Indonesia dalam memberikan fasilitas dan tunjangan bagi para wakilnya di parlemen, terlebih kondisi kehidupan masyarakatnya kian terhimpit.
Adalah sebelumnya, di sela peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia, rakyat dihadiahi dengan kabar yang melukai hati. Di antaranya, total gaji dan tunjangan anggota DPR RI yang naik hingga menembus Rp100 juta per orang per bulan.
Padahal, di tahun 2025 ini lapangan kerja semakin menyempit, PHK menjadi tren, ditingkahi dengan naiknya biaya hidup yang semakin menekan kantong serta batin. Belum lagi besaran pajak bumi dan bangunan (PBB) di banyak daerah turut meroket hingga ada yang mencapai 1000 persen.
Namun di saat yang seharusnya para anggota DPR memberi solusi, yang terjadi justru sebaliknya. Rakyat dipertontonkan perolehan tunjangan rumah untuk masing-masing anggota DPR sebesar Rp50 juta per bulan.
Selain itu, tunjangan beras naik dari Rp10 juta menjadi Rp12 juta per bulan. Pula tunjangan bensin juga dinaikkan menjadi Rp7 juta per bulan dari sebelumnya Rp4-5 juta per bulan.
Menurutnya, penaikan tunjangan ini menambah deretan pendapatan yang diterima legislator, di tengah kebijakan belanja negara diperketat, sebagaimana didasari oleh Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 dan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 56 Tahun 2025, dengan tujuan menjaga keberlanjutan fiskal dan mendukung program prioritas pemerintah.
Celakanya, ketika menghadapi banyak hujatan dari masyarakat, yang terjadi justru saling lempar tanggung jawab.
“Anggota DPR menyatakan besaran tunjangan tersebut berdasarkan standar yang ditetapkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu),” kata Muhammad K, yang berarti anggota DPR dalam posisi hanya sebagai penerima ketentuan dari Kemenkeu.
Sementara Kemenkeu sendiri merujuk pada kesepakatan politik anggaran yang merupakan kesepakatan antara eksekutif (pemerintah) dan legislatif yang dalam hal ini adalah DPR.
Demikian, apa pun dalihnya, kebijakan penaikan tunjangan tersebut patut dipertanyakan urgensinya di tengah kondisi rakyat sedang tidak baik-baik saja, dan sebagaimana disinggung sebelumnya, negara sedang melakukan pengetatan pengeluaran pemerintah.
Tak ayal, banyak pihak termasuk dirinya kemudian membandingkan dengan pendapatan anggota legislatif di luar negeri yang sekali lagi tak seroyal di negeri ini.
Bahkan lebih jauh pemberian keistimewaan dimaksud justru makin memperlihatkan sifat, keadaan, atau niat buruk dari sistem yang berlaku saat ini. “Keadaan ini semakin menunjukkan belang dari sistem yang berlaku saat ini,” ujarnya.
Rindu Kepemimpinan Rasulullah
“Kita rindu dengan pemimpin seperti Rasulullah SAW yang meski saat memegang kekuasaan besar saat berhasil menyatukan Jazirah Arab, beliau masih tidur beralaskan tikar pelepah kurma, meninggalkan bekas di punggung beliau saat bangun,” ungkapnya, mengisahkan betapa sederhana kepemimpinan Beliau SAW yang kini dirindukan oleh lebih dari 2 miliar Muslim sedunia.
Sekadar ditambahkan, sebenarnya tidaklah sulit untuk mencontoh kepemimpinan Nabi SAW. Namun memang membutuhkan upaya untuk mengetahui dan mempraktikkan akhlak dan ajaran beliau SAW melalui Al-Qur’an dan hadits.
Meneladani Nabi SAW dimulai dari mempelajari sifat dan perilaku beliau, lalu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari seperti kejujuran, kasih sayang, dan kesabaran. Bukan menuntut kesempurnaan, tetapi memulai dari hal kecil sesuai kapasitas diri.
Pun yang dilakukan para sahabat seperti Abu Bakar ra ketika menggantikan Rasulullah SAW memimpin daulah Islam, tetap hidup sederhana. Umar bin Khattab ra yang pernah membatasi dirinya untuk makan yang sebenarnya standar dan tidak mewah, sebagai bentuk empati pada kondisi rakyatnya yang sedang mengalami masa paceklik.
Karenanya, ia berharap kepemimpinan dan sistem tersebut kembali mewarnai negeri ini khususnya dan dunia pada umumnya. “Kita berharap kepemimpinan dan sistem yang diajarkan Islam kembali mewarnai Indonesia dan dunia,” pungkasnya.[] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat