Ironi Usulan Kurikulum Anti-Pencabulan di Pesantren

 Ironi Usulan Kurikulum Anti-Pencabulan di Pesantren

MediaUmat Usulan Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, yang mendorong penyusunan kurikulum antipencabulan dan kekerasan seksual di sekolah dan pesantren dengan merujuk pada Belanda, Jerman, dan Swedia dinilai sebagai langkah yang ironis. Sebab, kurikulum yang diusulkan justru berbasis nilai-nilai liberal ala Barat.

“Ironisnya, yang diusulkan justru kurikulum bernapas liberal Barat,” ujar Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS), Farid Wadjdi, kepada Media Umat, Rabu (23/7/2025).

Padahal, kata Farid, data resmi menunjukkan bahwa negara-negara Barat justru memiliki tingkat kekerasan seksual yang sangat tinggi. Ia mencontohkan, menurut Statista (2023), Inggris mencatat tingkat kekerasan seksual tertinggi di Eropa, dengan lebih dari 2.000 kasus per 100.000 penduduk perempuan. Di Amerika Serikat, 1 dari 6 perempuan pernah mengalami pemerkosaan atau percobaan pemerkosaan (RAINN, 2022). Sedangkan di Belanda, laporan EU Fundamental Rights Agency mencatat bahwa lebih dari 45% perempuan pernah mengalami kekerasan seksual sepanjang hidup mereka.

“Ini bukti nyata bahwa model pendidikan seks liberal tidak efektif memberantas kekerasan seksual,” tegas Farid.

Menurut Farid, kekerasan seksual adalah kejahatan serius yang wajib dicegah dan ditindak, di mana pun terjadi—di rumah, sekolah, tempat kerja, maupun di pesantren. Islam sangat mengecam segala bentuk pencabulan, pelecehan, dan pemerkosaan. Namun, menjadi masalah serius ketika kasus-kasus yang terjadi di pesantren diblow-up secara selektif, seolah-olah pesantren adalah episentrum kekerasan seksual. Padahal, pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang telah lama berkontribusi besar dalam pembinaan akhlak dan moral bangsa. Hal ini menimbulkan kesan adanya stigmatisasi bahkan kriminalisasi sistematis terhadap lembaga keagamaan berbasis Islam.

Farid juga mengingatkan bahwa kejahatan seksual bersifat sistemik, tidak terbatas pada satu institusi. Ia terjadi di berbagai ruang sosial: dalam keluarga, tempat kerja, institusi politik, bahkan di lembaga penegak hukum seperti kepolisian. Dengan demikian, masalah ini tidak bisa hanya disederhanakan sebagai persoalan institusional, melainkan berpangkal pada sistem kehidupan yang liberal dan permisif.

Lebih lanjut, Farid menyoroti adanya potensi agenda liberalisasi pesantren di balik usulan ini. Menurutnya, kurikulum berbasis nilai-nilai Barat dapat melemahkan independensi pesantren, sekaligus menjadi jalan masuk bagi nilai-nilai asing yang bertentangan dengan Islam—seperti normalisasi seks bebas, ideologi gender nonbiner, dan permisivisme.

Farid menegaskan, akar dari maraknya kekerasan seksual adalah sistem kapitalisme liberal yang menjadikan tubuh sebagai komoditas, menghancurkan standar moral, dan membuka ruang luas bagi pornografi serta pergaulan bebas. Karena itu, solusi mendasarnya tidak cukup dengan kurikulum baru, melainkan harus ada perubahan sistemik terhadap tatanan hidup yang rusak ini.

Menurutnya, sistem Islam menawarkan solusi yang sahih dan paripurna. Islam melarang segala bentuk khalwat (berduaan), pornografi, tidur satu selimut antara lawan jenis, dan mewajibkan penjagaan aurat. Islam juga menerapkan sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan seksual, seperti rajam dan hukuman mati bagi pemerkosa dan pezina. Selain itu, Islam membentuk lingkungan sosial yang sehat dengan memisahkan interaksi laki-laki dan perempuan kecuali ada keperluan syar’i, serta menutup semua celah menuju maksiat, termasuk akses terhadap situs pornografi dan budaya permisif.

“Sangat disayangkan jika respons terhadap kekerasan seksual justru berupa adopsi undang-undang liberal yang terbukti gagal di negara asalnya. Solusi sejati hanya dapat diwujudkan melalui penerapan syariat Islam secara menyeluruh, baik dalam sistem pendidikan, kehidupan sosial, maupun sanksi hukum,” pungkas Farid.[] Agung Sumartono

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *