Invest: Mayoritas Keluarga Besar PLN Tidak Peka Dinamika Kelistrikan

Mediaumat.id – Koordinator Indonesia Valuation for Energy and Infrastucture (Invest) Ahmad Daryoko menyatakan mayoritas keluarga besar Perusahaan Listrik Negara (PLN) tidak peka terhadap dinamika kelistrikan.

“Saya amati mayoritas keluarga besar PLN ini tidak peka terhadap dinamika kelistrikan dengan PLN sebagai aktor utamanya,” ujarnya dalam surat terbuka untuk keluarga besar PLN yang diterima Mediaumat.id, Selasa (24/1/2023).

Menurutnya, dari dulu dengan jargon perubahan justru keluarga besar PLN menyambut hangat hadirnya desain konsep sektor ketenagalistrikan berupa The Power Sector Restructuring Program (PSRP) yang terbit pada 25 Agustus 1998 karya IFIs (WB, ADB, IMF) sebagai tindak lanjut dari dari LOI (Letter of Intent) 31 Oktober 1997.

Dalam penilaiannya, saat itu keluarga besar PLN justru mengangkat PSRP dengan PAC (Public Awarenes Campaign) yang sebenarnya merupakan program sosialisasi pembubaran PLN dengan jargon perubahan yang harus didukung karena demi masa depan PLN yang cerah.

“Padahal PSRP itu menabrak konstitusi!” tegasnya.

Lebih parah lagi, bebernya, setelah dijiplak oleh Departemen Pertambangan dan Energi ke dalam The White Paper kebijakan restrukturisasi sektor ketenagalistrikan, kemudian dijadikan naskah akademik lahirnya UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan.

Untung saja, ucap Daryoko, serikat pekerja PLN konsisten menentang dan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi yang akhirnya dibatalkan lewat putusan No. 001-021-022/PUU-I/2003, 15 Desember 2004.

Namun, karena kuatnya tekanan eksternal muncul lagi Undang-Undang neoliberal kelistrikan nomor 30/2009. “Lagi-lagi SP PLN ajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi sehingga dibatalkan lagi pasal pasal unbundling-nya lewat putusan No. 111/PUU-XIII/2015 tanggal 14 Desember 2016,” imbuhnya.

Sayangnya, lanjut Daryoko, Dahlan Iskan dengan ideologi liberalnya, mulai 2010 saat menjadi Dirut PLN dan Menteri BUMN melangkah tanpa undang-undang, yaitu menjual ritail PLN khususnya yang ada di Jawa-Bali ke taipan 9 naga.

“Seperti contoh blok SCBD ke TW, Meikarta ke James Riady, PIK ke Aguan dan lain-lain, serta kota-kota besar di Jawa ke perusahaan DI dan 9 naga itu. Sedang yang recehan dijual dengan bentuk token,” jelasnya.

Setelah itu, kata Daryoko, Jawa-Bali secara de facto diterapkan kompetisi penuh (multy buyer and multy seller/MBMS) hanya berdasar Kepmen ESDM No. 1/2015. “Dan anehnya teman-teman PLN yang memiliki kapasitas untuk melaksanakan MBMS merasa bangga bisa menerapkan power wheeling tanpa undang-undang dan cukup dengan keputusan menteri,” kritiknya.

Akibatnya, jelas Daryoko, pemerintah terpaksa mengeluarkan subsidi ratusan triliun tiap tahun guna menutup dampak MBMS yang diciptakan Dahlan Iskan, sehingga terungkap pada 2020 ada subsidi sebesar Rp 200,8 triliun dan Menkeu Sri Mulyani menyatakan subsidi ke PLN untuk 2022 sebesar Rp 133,33T tapi PLN secara berturut-turut malah menyatakan untung Rp 5,95 T dan Rp 13,7 T. “Sandiwara macam apa ini semua?” tanyanya heran.

Tidak Perlu Bersandiwara

Daryoko mengingatkan kepada keluarga besar PLN bahwa program holding subholding (HSH) dan penyelundupan pasal-pasal power wheeling system ke dalam pembahasan Rancangan UU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBT) itu terpaksa dilakukan agar ke depan pemerintah tidak perlu bersandiwara seperti di atas.

“Setelah HSH rampung, pasal-pasal power wheeling sudah ada di Undang-Undang EBT meskipun dipaksakan, maka PLN Jawa-Bali akan segera dilakukan IPO (initial public offering), dan selanjutnya Jawa-Bali diserahkan sepenuhnya ke kartel listrik swasta sehingga tidak ada kewajiban subsidi lagi dari pemerintah dan kartel selanjutnya akan memberlakukan MBMS di Jawa-Bali,” urainya.

Selanjutnya, tutur Daryoko, PLN Holding akan dibubarkan, dan PLN luar Jawa-Bali secara bertahap akan diserahkan ke pemerintah daerah setempat.

Terkait nasib karyawan dan pensiunan PLN, Daryoko mengatakan, “Kalau saat ini hanya rekan-rekan kita yang di PLN KITSEL dan KITSU yang terancam PHK dan selanjutnya hanya akan diposisikan sebagai tenaga kontrak (outsourcing) maka ke depan karyawan PLN Jawa-Bali akan mengalami nasib yang sama, yaitu hanya akan menjadi karyawan outsourcing dari perusahaan kartel listrik swasta yang ada.

Sedang pensiunan dengan sistem DPPK (Dana Pensiun Pemberi Kerja) akan berakhir riwayatnya karena pemberi aktuaria (PLN) sudah bubar. “Tidak mungkin kartel listrik swasta akan bersedia menutup aktuaria DPPK dan fasilitas kesehatan,” prediksinya.

Daryoko lalu mengajak keluarga besar PLN dan publik untuk bangkit. “Masihkah Anda semua akan bersantai ria dan berbangga bangga dengan jargon empat pilar yang sebenarnya hanya bullshit itu? Ayo bangkit! Jangan molor (tidur) melulu! Minta RDPU (Raksa Dana Pasar Uang) ke DPR RI, setidaknya ke fraksi yang ada di parlemen itu!” pungkasnya.[] Irianti Aminatun

Share artikel ini: