MediaUmat – Direktur Information and Network Security Institute (INS Institute) M. Yanuar menilai pemerintah Indonesia gagal dan terlambat dalam menangani ancaman keamanan siber, termasuk kasus peretasan beranonim Bjorka yang kembali mencuat ke publik.
“Pemerintah Indonesia dikatakan gagap, ya saya sepakat. Bahkan bukan hanya gagap, juga gagal dan terlambat,” ujarnya dalam Kabar Petang: Bjorka Lagi? yang tayang di kanal YouTube Khilafah News, Kamis (9/10/2025).
Menurut Yanuar, lemahnya sistem pengamanan data serta regulasi yang muncul terlalu akhir menjadi bukti bahwa Indonesia belum memiliki arah yang jelas dalam membangun ekosistem siber yang aman dan berkelanjutan.
Salah satu contoh yang disoroti adalah keterlambatan pengesahan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Meski disahkan pada 2022, regulasi tersebut baru mulai berlaku pada 2024. Sementara itu, di Eropa, aturan serupa telah diterapkan sejak 2017–2018.
“Artinya selama ini tidak ada perlindungan data pribadi. Padahal ini adalah suatu hal yang penting. Karena ketika data-data ini bocor, mungkin kita pernah dapat SMS atau WhatsApp yang mungkin mengaku-ngaku dari paket atau mungkin pajak, yang dia begitu tahu ini kita, nomor kita, dan kita punya nomor pajak di situ. Tapi ternyata bukan laporan yang dikirimkan, tapi APK. Lalu kemudian tiba-tiba rekening kita hangus dan lain sebagainya,” tuturnya.
Menurut Yanuar, kasus-kasus semacam itu merupakan bukti nyata kegagalan pemerintah dalam melindungi data warganya.
“Dengan data yang bocor tadi, dimanfaatkan para penipu untuk mengelabui masyarakat hingga berakibat pada hilangnya harta. Artinya di sini sudah gagal-gagal terlambat,” tandasnya.
Aplikasi Pemerintah Tidak Berkelanjutan
Yanuar juga menyoroti pola pembangunan aplikasi digital pemerintah yang dinilai tidak berkelanjutan.
“Jadi hanya sekadar pemenuhan proyek, pemenuhan target. Tapi tidak ada keberlanjutan di dalamnya, dibiarkan begitu saja. Ini kan sebuah kegagalan dalam perencanaan sistem,” katanya.
Ia mencontohkan aplikasi PeduliLindungi, yang sempat populer selama pandemi, namun kemudian tidak lagi dipelihara.
“Kebanyakan proyek-proyek pemerintah, misal seperti PeduliLindungi, yang kemarin sempat viral, lalu dikatakan itu sudah tidak di-maintenance lagi. Dibiarkan begitu saja. Sudah ada proyek baru,” bebernya.
Akar Masalah
Lebih jauh, Yanuar menilai, akar masalah dari berbagai kegagalan tersebut terletak pada sistem kapitalisme yang menjadi landasan pengambilan kebijakan di Indonesia.
Sistem ini dinilainya tidak mampu menjadikan keamanan siber dan perlindungan data pribadi sebagai prioritas utama.
“Aturan (kapitalisme) itu dibuat berdasarkan untung rugi. Apalagi ditambah dengan para pembuat kebijakan itu juga subjektif, apalagi ketika mereka hanya memikirkan untung rugi perutnya sendiri. Maka mereka tidak akan membuat kebijakan yang melindungi data pribadi rakyat,” ujarnya.
Ia pun menyerukan perlunya perubahan sistem hukum dan politik yang mendasari negara saat ini.
“Sistem politik, sistem hukum, sistem persanksian negara ini harus diubah. Bukan berdasarkan kepada untung rugi, tapi didasarkan kepada syariah Islam,” ujarnya.
Yanuar menegaskan, permasalahan keamanan siber di Indonesia tidak hanya menyangkut aspek teknis atau anggaran, tetapi lebih dalam merupakan persoalan sistemik.
“Ada dua solusinya: secara teknis juga harus diperhatikan, secara nonteknis ini juga harus diperhatikan, mengganti sistemnya yang bermuara kepada untung rugi, berdiri dengan sistem yang menjaga keamanan data pribadi masyarakat. Yang menjaga harta-harta masyarakat,” jelasnya.
Banyak Kejanggalan
Terkait penangkapan sosok yang diklaim sebagai hacker Bjorka baru-baru ini oleh aparat penegak hukum, Yanuar mengungkapkan bahwa terdapat banyak kejanggalan.
Ia menilai bahwa bukti-bukti teknis seperti log IP, akun login, dan infrastruktur digital seharusnya dijadikan dasar identifikasi yang kuat.
“Pertanyaannya, apakah ini Bjorka yang asli? Itu tentu akan menuai perdebatan karena ada indikasi lain. Karena setelah penangkapan itu, muncul lagi data kepolisian yang diunggah oleh Bjorka,” katanya.
Yanuar merujuk pada data dari SOCRadar yang menunjukkan bahwa profil digital Bjorka mengarah ke wilayah Skandinavia, baik dari nama, gambar profil, hingga narasi-narasi yang dibangun.
“Bahkan gambar profile picture-nya itu diambil dari sebuah album berjudul Utopia yang dinyanyikan oleh artis bernama Björk yang memang berasal dari Islandia,” jelasnya.
Ia menduga bahwa Bjorka kemungkinan bukan sosok tunggal, melainkan sebuah tim. Selain itu, popularitas nama Bjorka juga bisa dimanfaatkan oleh pelaku lain untuk melakukan aksi penipuan.
“Bisa jadi itu bukan Bjorka yang asli. Bisa jadi memang orang yang mengatasnamakan dirinya sebagai Bjorka. Karena nama ini cukup terkenal, maka bisa digunakan oleh orang lain,” pungkasnya.[] Muhar
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat