Indonesia akan Bangun PLTN, Lebih Baik Terlambat daripada Tidak

MediaUmat.info – Menanggapi ambisi Indonesia yang akan membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), Mahasiswa Doktoral Nuclear Engineering Institute of Science Tokyo R Andika Putra Dwijayanto menilai lebih baik terlambat daripada tidak.

“Jadi sebenarnya ambisi ini ambisi yang terlambat, tapi buat saya lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali,” tuturnya kepada media-umat.info, Kamis (8/5/2025).

Menurutnya, ambisi ini sebenarnya ini agak terlambat. Indonesia sudah memiliki program terkait PLTN sejak tahun 1970-an, tetapi untuk alasan tertentu tidak pernah terealisasi. Menjelang akhir Orde Baru, sebenarnya sudah ada niat formalisasi pembangunan PLTN, tapi kemudian Orde Baru tumbang dan proyeknya batal.

“Di Semenanjung Muria pada masa Presiden SBY, ada rencana membangun PLTN juga tapi kemudian dibatalkan karena tekanan dari LSM lingkungan. Baru sekitar tahun 2019 ke sini PLTN lebih serius dilirik, khususnya karena tuntutan terkait Net Zero Emission,” ungkapnya.

Ia sudah melihat dokumen Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional, dan target yang dicanangkan masih cukup realistis dengan kondisi industri nuklir internasional saat ini. “Cuma masalah politis saja yang agak-agak jadi isu,” kata Andika.

Tantangan

Menanggapi pernyataan Bill Gates yang mengatakan pembangkit nuklir bisa menjadi solusi energi yang ramah lingkungan, hanya saja pengembangannya rumit dan mahal, Andika menilai Gates itu bicara dalam konteks teknologi PLTN konvensional yang notabene berpendingin air.

“Kalau tantangan, kita bisa telaah dari tantangan teknologi dan ekonomi. Kalau soal teknologi, PLTN konvensional saat ini memang bukan teknologi optimal. Mau kita optimasi dengan rekayasa teknologi secanggih apa pun, air tetap saja air, ada limitasi fisisnya. Tidak bisa dibuat lebih efisien lagi. Efisiensi konsumsi bahan bakar nuklir cuma 0,5%, jauh dari harapan,” katanya.

Dari sini, lanjutnya, memang perlu teknologi alternatif, yang bisa memanfaatkan lebih dari 90% potensi bahan bakar nuklir. “Perusahaan yang didanai Gates, TerraPower, itu sedang mengembangkan teknologi PLTN baru yang bisa memanfaatkan 90% bahan bakar nuklir itu. Teknologi sejenis masih banyak lagi variasinya baik yang mengembangkan itu negara, seperti di Cina, maupun swasta, seperti di Amerika Serikat dan Eropa Barat,” beber Andika.

Kalau dari segi ekonomi, menurutnya, masalahnya tidak serta-merta berakar dari teknologi yang tidak efisien. Betul, memang kurang optimal, tapi secara historis PLTN konvensional pun bisa dibangun dengan biaya rendah.

“Kenapa, kok, sekarang jadi mahal?” tanyanya, kemudian menjawab dengan menyebutkan dua poin.

Pertama, regulasi keselamatan yang terlalu konservatif, terus mengetat, dan tidak pernah melonggar. “Memang kita mesti menjamin keselamatan operasional reaktor, tapi how safe is safe enough? Regulasi tampaknya tidak mendefinisikan dengan jelas masalah ini, hanya terus menambah-nambah aturan yang tidak realistis.

“Akhirnya sistem reaktor jadi terlalu kompleks dan mahal, tapi tidak membuatnya ratusan kali lebih selamat juga,” terangnya.

Kedua, kehilangan kapasitas industri. Pasca kecelakaan Chernobyl, pembangunan PLTN di seluruh dunia hampir semuanya terhenti, dan di berbagai negara, proyek PLTN hilang selama puluhan tahun. Artinya, kepakaran manusia dan rantai pasok industrinya juga hilang. Ketika mau dimulai lagi, mereka kebingungan, jadi akhirnya pembangunannya ngaret dan biayanya berlebih.

“Kombinasi keduanya jadi bikin PLTN terkesan mahal. Beda kasusnya dengan di, misalkan, Korea Selatan dan Cina, yang proyeknya berjalan terus dan mewariskan pengalaman ke pekerja serta industrinya. Jadi biaya PLTN tidak terlalu mahal di sana,” ungkap Andika.

Kalau Indonesia mau mengatasi tantangan ekonomi dan teknologi, menurut Andika, berarti aspek-aspek regulasi, termasuk keselamatan radiasi, serta pemilihan vendor yang tepat dan berpengalaman, harus bisa dibereskan dulu.

“Supaya justifikasi keselamatan tidak mengorbankan aspek ekonomi,” tandasnya.

Kriteria Energi

Sistem energi itu, kata Andika, selayaknya dibangun sehingga memenuhi kriteria bersih, terjangkau, selamat, dan andal. Pertanyaannya, apakah kondisi sistem energi sekarang memenuhi kriteria itu?

“Bersih, jelas tidak. Mayoritas jaringan listrik menggunakan batu bara dan gas alam/metana. Batu bara itu penyumbang polusi udara dan gas rumah kaca (GRK), gas alam pun mengemisikan GRK. Efeknya apa? Pemanasan global dan perubahan iklim,” sebutnya.

Terjangkau? Andika menyebut, dinormalisasi ke power purchase parity, energi nonsubsidi di Indonesia itu relatif mahal, makanya ada subsidi.

“Selamat? Batu bara itu melepaskan polusi cukup besar dan berkontribusi atas ribuan kematian prematur akibat gangguan pernapasan,” ujarnya.

Terkait masalah keandalan, menurut Andika, di Pulau Jawa, mungkin iya. Di luar sana, belum tentu. Khususnya kalau suplai terbatas dan bahkan pakai diesel, jauh dari andal.

PLTN Penuhi Kriteria

Andika menilai, PLTN bisa memenuhi semua kriteria itu. “Bersih sudah jelas, tidak ada emisi GRK dan polutan lain. Limbahnya pun sedikit, hanya 20 ton per tahun, itu pun 90% bisa dipakai lagi di PLTN maju. Batu bara limbahnya 300 ribu ton per tahun,” ujarnya.

Terkait keterjangkauan, menurutnya terjangkau, walau biaya pembangunan awal mahal, tapi operasionalnya sangat murah dan bisa beroperasi hingga 80 tahun. “Total biaya lebih rendah dari batu bara dan gas alam,” sebutnya.

Terkait keselamatan, ungkap Andika, kecelakaan PLTN cuma sekali menyebabkan korban jiwa, itu pun kurang dari 60 orang dan tidak mungkin terjadi di luar eks-Uni Soviet.

Terkait keandalan, menurut Andika, PLTN punya faktor kapasitas paling tinggi dibandingkan pembangkit lain, sampai 90%. “Gas dan batu bara mungkin hanya 50-70%,” bebernya.

Tentu saja benefit itu, kata Andika, baru akan terasa kalau PLTN sudah dibangun dalam jumlah besar, sehingga bisa jadi sumber energi yang cukup dominan.

“Jadi harus diusahakan, mulai dari aspek riset hingga kapasitas industri domestik. Termasuk pengembangan teknologi PLTN maju yang bisa memanfaatkan 90% lebih potensi bahan bakar nuklir, harus dikuatkan. Karena dengan menggunakan PLTN maju, kita dapat benefit baru, bahwa bahan bakar nuklir yang sudah teridentifikasi di Indonesia bisa bertahan hingga ribuan tahun ke depan,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: