MediaUmat – Turut menolak gagasan solusi dua negara di tanah Palestina, Ketua International Muslim Lawyers Alliance (IMLA) Chandra Purna Irawan menegaskan ide tentang solusi ini terkategori kejahatan hukum atau sering disebut tindak pidana kejahatan.
“Siapa pun yang mengusulkan solusi dua negara adalah kejahatan hukum,” ujarnya kepada media-umat.com, Jumat (26/9/2025).
Pasalnya, gagasan ini hanya akan mengukuhkan pengakuan terhadap Israel dan solusi tersebut tidak akan menyelesaikan penjajahan.
“Menerima penjajah seperti menerima perampok yang akan menjarah dan mengambil rumah seseorang, lalu ditawarkan bagi dua terhadap rumah tersebut,” ucapnya, menganalogikan.
Sementara, sebut Chandra, berdasarkan hukum internasional, penjajahan adalah tindakan ilegal dan sebagai bentuk penyangkalan terhadap hak dasar bangsa untuk merdeka. Artinya, setiap bangsa memiliki hak untuk mengatur negaranya sendiri secara bebas dan berdaulat, tanpa campur tangan asing, penjajahan, atau pendudukan militer.
“Penjajahan dalam bentuk apa pun merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan hukum internasional,” tegasnya, seraya memaparkan beberapa alasan.
Pertama, tidak ada dasar bagi pihak yang mendukung solusi dua negara, dengan kata lain bagaimana kalau negaranya sendiri dibagi dua dengan Israel.
Kedua, solusi itu melanggar hukum internasional, yang berarti gagasan solusi dua negara, yang di dalamnya terdapat penindasan dan pemindahan paksa warga Palestina, bertentangan dengan ketentuan hukum di Pasal 49 Konvensi Jenewa IV, berikut larangan, pengecualian dan kewajiban bagi penguasa pendudukan di dalamnya.
Soal larangan, sebut Chandra, konvensi secara tegas melarang pemindahan paksa, baik individual maupun massal, serta deportasi penduduk yang dilindungi dari wilayah yang diduduki.
Meski ada poin pengecualian bagi penguasa pendudukan dapat melakukan evakuasi total atau sebagian wilayah jika keamanan penduduk atau alasan militer yang mendesak mengharuskannya, namun, sebut Chandra, orang-orang yang dievakuasi harus segera dipindahkan kembali ke rumah mereka setelah permusuhan berakhir.
“Pun ketika evakuasi dilakukan, penguasa pendudukan berkewajiban untuk menjamin akomodasi yang layak, kondisi higienis, kesehatan, keselamatan, dan gizi yang memuaskan, serta mencegah perpisahan anggota keluarga yang sama,” terangnya.
Di sisi lain, ujar Chandra, terdapat Statuta Roma di Pasal 8(2)(b)(viii), yang mendefinisikan tindakan tertentu dan dianggap sebagai kejahatan perang dalam konflik bersenjata internasional, termasuk penggunaan senjata, proyektil, dan materi serta metode perang yang, menurut sifat atau efeknya, akan menyebabkan cedera berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.
Karenanya, solusi dua negara antara Israel dan Palestina sama sekali tidak dapat diterima, dan hanya didukung oleh mereka yang berada dalam keputusasaan. “Inilah kejahatan di balik solusi dua negara,” tandasnya.
Bukan Konflik tapi Penjajahan
Chandra pun menegaskan kembali, yang terjadi di Palestina saat ini bukanlah sebuah konflik, melainkan penjajahan Zionis-Yahudi terhadap rakyat Palestina, yang melibatkan perampasan, pencurian, dan pengusiran mereka dari tanah airnya secara paksa.
Penjajahan Israel atas Palestina tidak dimulai pada 7 Oktober 2023, melainkan jauh sebelum itu, yakni pasca runtuhnya Khilafah Utsmaniah (Turki Utsmani) pada tahun 1924.
Bahkan, terang Chandra, penjajahan ini bisa dikatakan bermula dari Perjanjian Sykes-Picot pada tahun 1916 antara Inggris dan Prancis. Dalam perjanjian tersebut, Inggris dan Prancis membagi-bagi peninggalan wilayah Khilafah Utsmaniyah di kawasan Arab.
Perjanjian itu, menurut Chandra, menegaskan bahwa Prancis menguasai wilayah Suriah, Lebanon, dan koloni-koloni di Afrika (seperti Mesir, Ethiopia, Libya, dan lainnya), sementara Inggris mendapatkan koloni di wilayah Irak dan Yordania. Adapun Palestina, khususnya Kota Tua (Old City), ditetapkan sebagai wilayah dengan status internasional.
“Pada tahun 1917, pemerintah Inggris melalui Menteri Luar Negeri-nya, Arthur Balfour, mengirim surat kepada pemimpin Yahudi Inggris, Lord Rothschild, yang menyatakan bahwa pemerintah Inggris menyerahkan Palestina kepada mereka. Surat ini dikenal sebagai Deklarasi Balfour,” pungkasnya.[] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat