IJM: Klaim Prabowo Soal Ekonomi Tidak Selaras dengan Fakta

 IJM: Klaim Prabowo Soal Ekonomi Tidak Selaras dengan Fakta

MediaUmat Sikap pemerintah yang mengklaim pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 mencapai 5,12 persen dan mampu menyerap tenaga kerja hingga 1,2 juta orang, dinilai Direktur Indonesian Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana tidak selaras dengan fakta pengangguran yang makin meningkat.

“Klaim pertumbuhan ekonomi itu tidak selaras dengan fakta pengangguran yang semakin meningkat di tengah-tengah masyarakat,” ujarnya kepada media-umat.com, Sabtu (23/8/2025).

Meski demikian, klaim tersebut dianggap wajar karena logika pertumbuhan ekonomi yang dipakai di negeri ini adalah kapitalisme. “Kapitalisme itu pertumbuhan ekonomi enggak selinier adanya kesejahteraan,” jelasnya.

Untuk ditambahkan, sistem ekonomi kapitalis yang cenderung menghasilkan dampak negatif berupa kesenjangan ekonomi dan sosial, eksploitasi tenaga kerja, potensi kerusakan lingkungan, serta konsentrasi kekayaan pada segelintir pemilik modal yang dapat mengancam stabilitas sosial, tak bakalan mampu memunculkan keadilan dalam hal distribusi kekayaan.

Tengoklah para pekerja yang diposisikan sebagai input produksi murah, bukan subjek pembangunan. Pun misi alih teknologi tampak jelas tak serius dijalankan karena perusahaan asing maupun konglomerat lebih senang impor teknologi daripada membangun kapasitas SDM lokal.

Maka tak heran walau disebutkan pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi fenomena antusiasme dan kebutuhan pencari kerja di Indonesia juga makin tinggi. Hal ini dipicu oleh jumlah pengangguran yang signifikan dan jumlah lowongan yang terbatas dibandingkan pencari kerja,

“Ada mismatch (ketidakcocokan), sekali lagi antara kebutuhan industri dengan kompetensi SDM, plus distribusi kesempatan kerja yang tidak merata,” tegasnya.

Abaikan Keadilan Sosial

Selanjutnya, Agung juga menyoroti pidato Prabowo di poin terakhir tentang proyeksi arah pembangunan bangsa ke depan dengan menggunakan konsep Indonesia incorporated berikut konsep gotong royong seluruh elemen bangsa yang difungsikan sebagai satu kesatuan bekerja sama untuk mencapai tujuan pembangunan dan kepentingan nasional.

Kendati tampak positif, konsep ini dinilai justru berpeluang memunculkan negara korporasi (corporate state) yang artinya pengelolaan negara memakai logika bisnis berorientasi keuntungan. Sementara berkenaan keadilan sosial, negara justru mengabaikan.

“Konteksnya yang dicari adalah profit oriented. Bagaimana negara mengakumulasi ‘gotong royong’ tadi itu menuju konteks profit oriented,” ujarnya khawatir.

Tak ayal, banyak pihak termasuk dirinya yang tergelitik mempertanyakan makna dari kandungan UUD 1945 Pasal 33 yang menekankan bahwa cabang-cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara, begitu pula dengan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, untuk digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Perbaikan

Untuk itu, Agung memaparkan perihal perbaikan seperti halnya Islam telah mengatur dan mengajarkan. “Negara harus tegas mengklasifikasikan prinsip kepemilikan yang tak berfokus pada individu, dalam hal ini siapa yang memiliki kapasitas kapital atau modal besar, dia yang akan bisa memiliki sumber daya,” tuturnya.

Maknanya, sumber daya alam yang melimpah, strategis, serta menguasai hajat hidup orang banyak harus dimiliki oleh publik, bukan swasta. Kalaupun ada, status swasta hanya sebatas kontrak mengerjakan, enggak lebih dari itu.

“Itulah yang sangat penting untuk dibaca sebagai bagian untuk membangun keadilan buat masyarakat keseluruhan,” pungkasnya, seraya menawarkan sistem pemerintahan Islam yang terbukti secara empiris mampu menyejahterakan seluruh warga negara termasuk non-Muslim yang kala itu terbentang hampir di sepertiga dunia.[] Zainul Krian

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *