IJM Beberkan Kerusakan Sistemik Hukum di Indonesia

MediaUmat – Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana membeberkan kerusakan sistemik hukum di Indonesia, lewat dua kasus yang sedang hangat yaitu Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong.
“Saya hanya ingin mengajak kita semua melihat kerusakan sistemik hukum di Indonesia ini, lewat dua kasus yang sedang hangat yaitu Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong, poinnya ke sana. Yuk simak bersama,” bebernya dalam unggahan video Bongkar Kasus Hasto & Tom Lembong, Tunjukkan Rusaknya Sistem Negeri Ini? Selasa (5/8/2025) di platform Facebook.
Menurutnya, Hasto ditarik ke proses hukum mungkin prosesnya secara hukum sah.
“Tapi kenapa Hasto? Kenapa bukan tokoh-tokoh lain?” tanyanya retoris.
Hal ini, jelasnya, terjadi justru saat PDI Perjuangan berselisih dengan Presiden Joko Widodo.
Jadi, tegasnya, wajar kalau muncul dugaan ada intervensi kekuasaan hukum yang dijadikan alat perang bukan alat keadilan.
“Artinya, kita hidup dalam negara kekuasaan bukan negara hukum,” kritiknya.
Lihat Tom Lembong
Lalu, lanjutnya, lihat kasus Tom Lembong. Tidak ada bukti yang menyatakan Tom menerima uang atau keuntungan pribadi tapi tetap diseret dalam kasus, hanya karena orientasi kebijakan ekonominya yang dianggap kapitalis atau terlalu pro pasar.
“Bagaimana kemudian dengan menteri-menteri yang melakukan hal yang sama termasuk juga dikeluarkannya undang-undang yang pro para kapitalis. Ini kuat dugaan sebagai bentuk kriminalisasi kepada lawan politik,” tandasnya.
Lagi-lagi, cetusnya, hukum bisa dipilih dan dipilah bukan sebagai panglima tapi sebagai pesanan.
“Ketika Pak Prabowo akhirnya memberikan amnesti kepada Hasto, itu mengakui seolah Hasto adalah korban kriminalisasi politik. Tapi kenapa baru sekarang? Banyak yang membaca ini sebagai upaya akomodasi politik kepada PDI Perjuangan,” paparnya.
Menurutnya, amnesti sebagai alat kompromi. Artinya, hukum ditekuk demi stabilitas kekuasaan.
“Lagi-lagi hukum kalah oleh kepentingan,” kritiknya.
Begitu pula, imbuhnya, dengan abolisi untuk Tom Lembong.
Harusnya, kata Agung, sejak awal jika memang tidak ada bukti kuat, Prabowo bisa hentikan kasusnya tapi abolisi justru keluar setelah ada gejolak publik dan tekanan dari banyak tokoh termasuk juga para influencer.
Jadi, tegasnya, jelas hukum diintervensi untuk kepentingan politik bukan karena kebenaran.
“Stabilitas politik jadi alasan kuat,” ujarnya.
Ia menuturkan, yang terjadi dari kasus Tom Lembong ini, bukan sekadar drama hukum biasa. Namun, hal ini adalah cermin rusaknya sistem hukum Indonesia dari akarnya.
“Hukum bisa dipakai untuk kriminalisasi maupun kompromi politik,” tuturnya.
Artinya, jelasnya, keadilan sejati tidak mungkin lahir dari sistem sekuler dan kapitalistik seperti saat ini.
“Kita butuh sistem di mana hukum benar-benar di atas kekuasaan,” pekiknya.
Sistem Islam
Tentu, ungkapnya, jawabannya adalah sistem Islam. Dalam sistem khilafah, hukum syariah yang jadi panglima bahkan khalifah pun tunduk dan bisa dicopot kalau menyimpang dari syariah.
“Hukum Islam tegak tanpa pandang bulu. Siapa pun dia, termasuk dari kalangan keluarga, penguasa sekalipun,” paparnya.
Menurutnya, hal ini tentu lebih memberikan keadilan untuk seluruh umat manusia.
“Kalau Anda juga mendambakan keadilan yang hakiki maka saatnya mendukung perjuangan penegakan syariah Islam secara kaffah sebagai sistem hukum yang tertinggi,” tutupnya.[] Novita Ratnasari
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat