MediaUmat – Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) memunculkan kembali gagasan one state solution (solusi satu negara) dikarenakan gagasan two state solution (solusi dua negara) pada kenyataannya lebih sering menjadi alat propaganda daripada solusi nyata.
“Muncul kembali gagasan one state solution sebuah Palestina yang utuh, dari Sungai Yordan hingga Laut Tengah, semua warganya baik Muslim, Kristen, dan Yahudi hidup dalam satu negara tanpa apartheid [rasis],” ujar HILMI dalam siaran persnya yang diterima media-umat.com, Sabtu (27/9/2025).
One state solution, jelas HILMI, bukanlah penghapusan orang Yahudi dari Palestina, melainkan penghapusan Zionisme sebagai ideologi eksklusif dan sistem apartheid.
Menurut HILMI, ada empat tahap dalam roadmap menuju one state solution. Pertama, konsolidasi umat Islam. HILMI membeberkan, dunia Islam harus bergeser dari kepentingan nasional ke kepentingan umat. Organisasi seperti OKI, Liga Arab, dan Gerakan Non-Blok perlu direvitalisasi, atau bahkan diganti dengan format baru semacam federasi dunia Islam atau bahkan Modern Caliphate.
“Narasi persatuan harus menekankan bahwa Palestina adalah amanah bersama, bukan isu politik luar negeri semata,” terang HILMI.
Kedua, tekanan multidimensi. HILMI melihat, dunia Islam sebenarnya menguasai energi global. Oleh karena itu pemboikotan terukur dan embargo bisa melumpuhkan Israel dan sekutunya. Kemudian dalam politik dan diplomasi, blok bersatunya blok Islam dapat menekan forum internasional untuk mengisolasi Israel. Sedangkan dalam militer, penguatan daya gentar kolektif harus di tingkatkan seperti kerja sama militer antar Turki, Pakistan, Iran dan Mesir.
“Hal itu akan membuat Israel mengkalkulasi ulang kebijkannya,” terangnya.
Ketiga, transisi negara. HILMI mengungkapkan, transisi itu harus dimulai dengan penghentian apartheid dan pemukiman ilegal Zionis. Setelah itu membentuk pemerintahan transisi yang menaungi semua komunitas.
Dilanjutkan dengan melakukan Truth and Reconciliation Commission (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) ala Afrika Selatan atau ala Rasulullah saat Futuh Makkah untuk menyelesaikan kejahatan masa lalu.
Keempat, Palestina baru dalam payung umat. Pada tahap ini Palestina telah berdiri kembali sebagai negara tunggal, dengan Yerusalem sebagai ibu kota bersama. Warga Yahudi yang memilih tetap tinggal hidup aman sebagai warga negara atau minoritas yang dilindungi.
Adapun Palestina, menjadi bagian integral dari blok besar dunia Islam, sehingga tidak sendirian menghadapi negara-negara Barat.
HILMI menilai, one state solution akan selalu dianggap mustahil jika hanya dibayangkan dalam kerangka nation-state (negara bangsa) kecil bernama Palestina melawan Israel yang didukung adidaya Barat. Namun akan menjadi realistis bila dilihat dalam kerangka umat Islam bersatu. Sebab umat Islam memiliki kekuatan politik, ekonomi, dan militer kolektif sebanyak dua miliar Muslim di dunia.
Terakhir HILMI menegaskan, misi utama bukan sekadar mendirikan sebuah negara baru, melainkan mengembalikan Palestina sebagai tanah adil bagi semua warganya baik Muslim, Kristen maupun Yahudi tanpa kolonialisme dan apartheid.
Sebab sejarah menunjukkan, Yahudi justru hidup paling aman di bawah naungan peradaban Islam (khilafah), bukan di bawah ideologi Zionisme. Maka, jika umat Islam benar-benar bersatu, one state solution bukan utopia, melainkan jalan panjang menuju keadilan.
“Kesimpulannya, Palestina hanya akan merdeka ketika dunia Islam bangkit sebagai satu kekuatan global. Tanpa itu, setiap solusi hanyalah basa-basi. Dengan itu, one state solution bisa menjadi kenyataan, ” pungkas HILMI.[] Agung Sumartono
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat