HILMI Paparkan Keberhasilan Revolusi Rasulullah SAW

MediaUmat – Menyoal fenomena revolusi di skala nasional yang hasilnya kerap mengecewakan, bahkan mungkin menimbulkan dampak negatif yang lebih besar, Pembina Himpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI), Prof. Dr. Ing Fahmi Amhar menyinggung keberhasilan sejati revolusi yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Hal ini ia paparkan sebagaimana subjudul Revolusi yang Berhasil: Hijrah dan Negara Madinah, dalam sebuah tulisan berjudul utama Revolusi Bermartabat, tanpa Diktator dan Koruptor Baru? yang diterima media-umat.com, Ahad (31/8/2025).
Adalah revolusi dimaksud dikenal dengan peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW bersama pengikutnya dari Makkah ke Yatsrib (kemudian berganti nama menjadi Madinah) pada tahun 622 M.
Menurut Fahmi, hijrah tersebut bukan sekadar lari dari tekanan Quraisy, melainkan langkah strategis bertujuan menegakkan sistem Islam kaffah dalam bingkai institusi yang telah disiapkan terlebih dahulu.
“Rasulullah langsung menyusun Piagam Madinah, yang menjadi konstitusi awal, menata relasi Muslim, Yahudi, dan kabilah lain,” ulasnya.
Begitu juga dalam hal kepemimpinan ideologis maupun keadilan universal, Nabi Muhammad SAW memimpin bukan demi kekuasaan pribadi, melainkan sebagai penerjemah hukum Allah SWT. Sehingga minoritas seperti Yahudi pun dilindungi sebagai bagian dari umat, yang secara tidak langsung membuktikan syariat bukanlah penindasan oleh mayoritas.
Berikutnya soal keberhasilan perluasan visi yang tak perlu diragukan lagi. “Negara Madinah bukan sekadar lokal, tapi meluas menjadi Khilafah Rasyidah yang memimpin dunia dengan ilmu, peradaban, dan keadilan,” imbuhnya.
Kegagalan Revolusi Prancis dan Mesir
Jika dibandingkan dengan revolusi Prancis (1789) maupun Mesir (2011), misalnya, terdapat beberapa perbedaan yang sangat signifikan. Pertama, dilihat dari segi kekokohan ideologi, Revolusi Prancis dan Mesir tampak didorong amarah rakyat, dengan tidak mempertimbangkan fondasi nilai yang jelas. Sementara, Madinah dibangun dengan syariat Islam sebagai ideologi.
Kedua, alih-alih mempersiapkan institusi baru, Prancis dan Mesir justru mempertahankan birokrasi dan militer yang lama. Sementara, Madinah membangun sistem syar’i dari nol.
Ketiga, dalam hal kepemimpinan. Beberapa tahun setelah Revolusi Prancis menggulingkan monarki absolut dengan teriakan liberté, égalité, fraternité, revolusi itu berubah menjadi teror.
Ketika itu, Guillotine ‘menelan’ ribuan kepala, dan elite baru muncul dengan keserakahan serupa. Pada akhirnya, rakyat kembali dijajah diktator baru, Napoleon Bonaparte. “Revolusi memang mengganti raja, tapi tidak mengganti paradigma,” tukas Fahmi.
Tak jauh berbeda ketika Hosni Mubarak (berkuasa 1981-2011) jatuh, jutaan rakyat Mesir merasa era baru kebebasan tiba. Namun, karena institusi lama seperti militer, birokrasi maupun kepentingan asing tetap kokoh, Muhammad Mursi, presiden terpilih yang membawa janji Islam dan demokrasi, pada 2013 justru dengan mudah digulingkan oleh kudeta militer Jenderal as-Sisi.
Namun hal amat berbeda dari Napoleon maupun As-Sisi yang lahir dari ambisi pribadi, kepemimpinan Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin lahir dari ketakwaan dan tarbiah panjang.
Sedangkan dari sisi pendidikan rakyat terlebih perihal kemandirian dari pengaruh asing, Sahabat Nabi SAW sadar mereka berjuang bukan untuk individu, tetapi untuk Allah SWT. Serta bukan sebuah rahasia jika Madinah kala itu mandiri dalam politik luar negeri.
Sementara, rakyat Prancis maupun Mesir malah terjebak dalam harapan sesaat, lalu dikhianati elite. Tak hanya itu, kata Fahmi menambahkan, mereka malah terbelenggu kepentingan Amerika Serikat (AS) dan Teluk.
Artinya, sebagaimana disinggung sebelumnya, rakyat yang rela berkorban darah dan air mata sering kali mendapati bahwa setelah revolusi, wajah baru penguasa tidak lebih baik daripada wajah lama. Diktator jatuh, tetapi diktator baru naik. Koruptor dipenjara, tetapi koruptor baru bermunculan.
Artinya pula, sebuah revolusi tanpa ideologi akan melahirkan tirani baru. Begitu juga revolusi tanpa kepemimpinan bersih akan melahirkan koruptor baru.
Demikian disimpulkan syarat revolusi yang benar setidaknya ada lima faktor penting yang harus diupayakan. Tegaknya syariat Islam kaffah sebagai ideologi, adanya kepemimpinan ideologis yang fakih dan amanah, institusi syar’i yang siap mengelola negara, rakyat terdidik politik agar menjadi pengawal, serta kemandirian dari intervensi asing.
Karenanya, jika masyarakat menginginkan revolusi sejati, Fahmi berharap bukan hanya ganti penguasa, tetapi juga mengganti sistem.
“Ia bukan sekadar runtuhnya tiran, tapi lahirnya kepemimpinan bertakwa. Ia bukan sekadar menyingkirkan koruptor lama, tapi menutup pintu bagi koruptor baru,” tandasnya, seputar sistem Islam kaffah.
Tegasnya, kalau umat ini ingin bangkit hanya ada satu jalan, yakni revolusi yang menegakkan Islam kaffah. Sehingga tidak lagi melahirkan diktator dan koruptor baru, melainkan pemimpin adil yang menjaga marwah umat dan berwibawa di dunia internasional.[] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat