HILMI: Kerusuhan 2025 Menunjukkan Rapuhnya Demokrasi

 HILMI: Kerusuhan 2025 Menunjukkan Rapuhnya Demokrasi

MediaUmat Kerusuhan yang melanda Indonesia pada akhir Agustus 2025, dinilai Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) telah menunjukkan rapuhnya demokrasi pasca-Reformasi di negeri ini.

“Kerusuhan 2025 di Indonesia menunjukkan bahwa demokrasi pasca-Reformasi memang rapuh,” tulis HILMI dalam siaran pers Intellectual Opinion No. 015: Kerusuhan Indonesia 2025, Antara Ledakan Spontan dan Pertarungan Elite, yang diterima media-umat.com, Selasa (2/9/2025).

Menurutnya, gelombang kerusuhan yang awalnya muncul sebagai demonstrasi mahasiswa menolak kebijakan tunjangan hunian anggota DPR, berubah menjadi rangkaian bentrokan berdarah, pembakaran gedung, penjarahan, dan runtuhnya rasa aman di banyak kota besar ini sebagai pertemuan antara ledakan spontan rakyat dengan pertarungan elite politik-ekonomi.

Artinya, jelas HILMI, kerusuhan ini membuka jendela betapa rapuhnya konsolidasi politik demokrasi pasca pemilu 2024.

Sebutlah ketegangan atau friksi antara legislatif dan eksekutif. Di saat DPR yang semula memaksakan tunjangan hunian, presiden kemudian melakukan koreksi mendadak dengan mencabut kebijakan itu dan membatasi perjalanan luar negeri anggota DPR.

Meski langkah ini menyelamatkan wajah pemerintah, tetapi menurut HILMI, justru memperuncing friksi antara eksekutif dan legislatif.

Kemudian ketegangan di dalam koalisi besar penopang pemerintahan Prabowo yang dinilai juga rapuh. Sebabnya, jelas HILMI, tak sedikit faksi yang merasa kurang mendapatkan kursi atau setidaknya proyek strategis.

Begitu pula pengerahan TNI ke jalan-jalan kota besar dianggap sebagian kalangan sebagai bukti kembalinya militer ke ranah sipil. Ditambah oligarki ekonomi yang juga bermain.

“Sebagian taipan ingin stabilitas agar bisnis mereka aman, tetapi sebagian lain melihat instabilitas sebagai kesempatan untuk menegosiasikan ulang kontrak strategis,” kata HILMI menambahkan.

Celakanya, sebut HILMI, kerusuhan ini juga menyingkap friksi antara elite lama dan baru. Sebutlah jaringan berakar dari lingkaran politik presiden sebelumnya, yang populer disebut “Geng Solo”, yang mungkin tidak terlibat langsung, tetapi jelas berkepentingan menjaga atau bahkan memperluas pengaruh mereka di era Prabowo.

Sementara, beber HILMI, di antara pihak yang diuntungkan seperti oposisi memperoleh legitimasi, faksi internal menaikkan posisi tawar, aparat memperluas peran, oligarki mendapat peluang negosiasi, dan negara asing meningkatkan pengaruh, rakyatlah yang paling dirugikan. Sebab mereka yang kehilangan rasa aman, harta, bahkan nyawa.

Tak ayal, HILMI menyebut, rapuhnya konsolidasi politik demokrasi terlebih pasca-pemilu 2024 hingga terjadinya kerusuhan ini, juga memunculkan kekhawatiran apakah kerusuhan ini merupakan insiden sesaat atau justru gejala struktural yang akan terus berulang.

“Jika jawaban yang kedua, maka Indonesia harus bersiap menghadapi periode panjang instabilitas politik yang akan menghambat pembangunan,” tandasnya.

Karenanya HILMI khawatir kerusuhan serupa sangat mungkin bisa berulang. “Kerusuhan serupa sangat mungkin berulang,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *