Haji Jadi Komoditas, karena Sistem Islam Tak Diterapkan

MediaUmat – Direktur The Economics Future Institute (TEFI) Dr. Yuana Tri Utomo menegaskan bahwa komodifikasi penyelenggaraan ibadah haji merupakan konsekuensi logis dari diterapkannya sistem kapitalisme sekuler dan ditinggalkannya sistem Islam.
“Ibadah haji sekarang sudah jelas dikapitalisasi. Ini bukan sekadar keluhan teknis, ini problem sistemik akibat umat hidup di luar habitatnya, yaitu sistem Islam,” ujar Dr. Yuana dalam diskusi Jerat Kapitalisme dalam Pengelolaan Ibadah Haji yang ditayangkan Pusat Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA Channel), Jumat (11/7/2025).
Menurutnya, kapitalisme menyeret ibadah haji dari jalur ruhiah menuju arena kompetisi kelas sosial. Yang kaya dimanjakan fasilitas, yang miskin terpinggirkan dari tempat suci. Negara membiarkan pasar menentukan siapa yang layak mendapat kenyamanan dalam berhaji.
“Sekarang yang bisa bayar lebih, bisa haji lebih cepat dan lebih nyaman. Negara ikut arus logika profit, bukan logika syariah,” tandas Yuana.
Liberalisme Pengelolaan Haji
Pengasuh Ponpes Daar al-Musthafa Bandung Barat Dr. Barli, S.E.I., M.Ag., yang juga menjadi narasumber dalam diskusi tersebut, menyoroti akar liberalisasi pengelolaan haji di Arab Saudi sebagai bagian dari agenda kapitalisme global.
“Kita tidak bisa melepaskan tata kelola haji dari kebijakan ekonomi Saudi yang sudah menyatu dengan kapitalisme global,” jelasnya.
Menurutnya, ibadah haji kini menjadi ladang industri besar yang dikendalikan modal. Investasi properti mewah di sekitar Masjidil Haram dan Masjid Nabawi mendorong eksploitasi ekonomi atas nama pelayanan.
“Yang dulu rumah-rumah warga, kini berubah jadi hotel-hotel komersial. Hotel bintang lima menjamur, disewa oleh broker lintas negara lalu dijual kembali dengan harga berkali lipat,” ungkap Dr. Barli.
Fenomena ini memunculkan kasta dalam ibadah yang bertentangan dengan prinsip tauhid dan kesetaraan. Area thawaf yang sakral pun dikomersialkan, mengusir jamaah biasa demi kemewahan jamaah elite.
“Jamaah reguler yang seharusnya bisa thawaf di lantai dasar malah dibatasi karena area itu diborong jemaah kelas elite yang membayar ratusan juta,” bebernya.
Kondisi ini menunjukkan bagaimana negara tidak lagi berpihak pada jamaah kecil, melainkan tunduk pada sistem pasar yang tak mengenal ruh ibadah.
“Hotel-hotel diborong agen jauh hari, dan KBIH pun harus membeli lewat broker. Bahkan ada jamaah dari Lombok yang harus jalan kaki belasan kilometer karena hotelnya diganti sepihak,” ujar Barli.
Yuana menambahkan, yang paling menyakitkan adalah ketika haji kehilangan fungsi sosialnya sebagai perekat umat. Kapitalisme mengubah kuota menjadi komoditas yang hanya bisa diakses oleh yang berduit, bukan yang berhak.
“Yang antre 10–20 tahun, yang lanjut usia, seakan tak punya harapan. Sementara yang mampu bayar, langsung berangkat,” kritiknya.
Menurut Barli, komersialisasi ibadah bukan hanya berdampak pada kezaliman struktural, tetapi juga menghilangkan kekhusyukan dan kekhidmatan.
“Kita tidak hanya melihat aspek akomodasi, tapi bagaimana ruh ibadah dirampas kapitalisme,” tegasnya.
Ia menekankan, negara seharusnya menjadi pelindung syariat, bukan pelaksana mekanisme pasar.
“Persoalan ini bukan sekadar soal biaya mahal, tapi tentang bagaimana negara memperlakukan ibadah sebagai barang dagangan,” tegas Barli.
Yuana pun menyimpulkan, satu-satunya jalan keluar dari komersialisasi ibadah haji adalah kembali kepada sistem Islam.
“Hanya dengan sistem Islam, negara akan mengelola haji sebagai amanah, bukan sebagai lahan bisnis,” tandasnya.[] Zainard
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat