Gereja dan Desa Kristen Diserbu, Kekejaman Zionis Tidak Pandang Bulu

 Gereja dan Desa Kristen Diserbu, Kekejaman Zionis Tidak Pandang Bulu

MediaUmat Serangan terhadap desa Kristen Taybeh, Palestina, berupa pembakaran kendaraan, perusakan rumah, dan pengrusakan gereja pada 28 Juli lalu adalah bukti nyata kebiadaban entitas penjajah Zionis Yahudi tidak pandang bulu.

“Ini menunjukkan bahwa kekejaman Zionis tidak pandang bulu, baik terhadap Muslim maupun non-Muslim, termasuk komunitas Kristen yang hidup damai di Palestina,” ujar Direktur Forum Ideologi dan Wacana Strategis (FIWS) Farid Wadjdi, Selasa (29/7/2025).

Menurutnya, serangan terhadap komunitas Kristen ini bukan kali pertama. Kekerasan terhadap gereja sudah terjadi berulang. Sebelumnya, pemukim Yahudi menyerang Gereja St. George, merusak pekuburan kuno, dan membakar kebun zaitun milik warga Kristen.

Menurut Farid, serangan terhadap situs-situs suci Kristen adalah bagian dari agenda sistematis untuk mengosongkan Palestina dari seluruh penduduk aslinya.

Pada 17 Juli 2025, misalnya, Gereja Katolik Holy Family di Gaza City—satu-satunya gereja Katolik di wilayah itu—dalam kondisi menyedihkan ketika dihantam tembakan tank atau artileri Israel sekitar pukul 10:12 pagi.

“Gereja tersebut tengah dijadikan tempat penampungan: bagi ratusan warga sipil, termasuk anak-anak dan lansia dengan kebutuhan khusus,” sebut Farid.

Serangan ini, beber Farid, menewaskan tiga warga Palestina: seorang pria bernama Saad Salama (60), Fomia Ayad (80), dan Najwa Ibrahim Awad: (75); serta melukai puluhan orang lainnya, termasuk Pastor Gabriele Romanelli yang mengalami cedera ringan di kaki.

“Organisasi PCHR menyebut ini sebagai bagian dari “kampanye sistematis” untuk menarget situs keagamaan—baik gereja maupun masjid—ditandai sebagai pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional,” terang Farid.

Membongkar Mitos

Kekerasan sistematis terhadap komunitas Kristen Palestina, menurut Farid, membongkar mitos bahwa Israel adalah “satu-satunya demokrasi di Timur Tengah.”

“Fakta menunjukkan Israel adalah entitas kolonial rasis yang menindas siapa pun yang bukan Yahudi, termasuk Kristen Arab,” sebut Farid.

Karena itu, seru Farid, umat Kristen harusnya protes, bukan membela Zionis. “Sangat ironis bahwa ada komunitas Kristen di Papua dan Manado yang justru mengibarkan bendera Israel dengan alasan relijius, padahal yang dihancurkan oleh Israel bukan hanya masjid, tapi juga gereja dan komunitas Kristen itu sendiri,” terangnya.

Abraham Accord

Farid juga menilai, kesepakatan “Abraham Accord” hanyalah upaya menjual mitos koeksistensi damai antara Yahudi, Kristen, dan Islam, padahal kenyataannya penuh penindasan.

“Penggunaan nama Nabi Ibrahim hanyalah kedok untuk melegitimasi penjajahan atas tanah Palestina,” tegasnya.

Sebaliknya, sebut Farid, hanya khilafah yang melindungi Kristen Palestina. “Dalam sejarah Khilafah Islam, komunitas Kristen di Palestina hidup aman dan terjamin haknya,” tegasnya.

Farid menyebt, kunci Gereja Makam Kudus (Holy Sepulchre) dipegang oleh keluarga Muslim Al-Nusseibeh dan Al-Joudeh selama ratusan tahun—bukti nyata jaminan perlindungan yang tidak ditemukan dalam sistem kolonial Yahudi saat ini.

“Umar bin Khattab saat membebaskan Yerusalem justru menolak shalat di gereja agar tidak menjadi alasan kaum Muslim mengklaim tempat itu, demi menjaga hak umat Kristen,” terangnya.

Karena itu, Farid pun menyeru umat Kristen melihat fakta ini secara jernih, dan berhenti membela entitas penjajah atas nama doktrin teologis palsu.

“Solusi sejati bukan normalisasi, tapi pembebasan total Palestina di bawah naungan Khilafah Islam yang adil dan rahmatan lil-‘alamin,” pungkasnya.[] Joko Prasetyo

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *