Fordok Tegaskan Tujuan Politik Islam Membawa Kemaslahatan Umat

MediaUmat – Selain menegakkan keadilan, Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Ahmad Sastra memaparkan tujuan politik dalam Islam lainnya adalah membawa kemaslahatan bagi umat manusia, bukan semata-mata untuk mempertahankan kekuasaan.
“Dan membawa kemaslahatan atau maslahah bagi umat manusia, bukan semata-mata untuk mempertahankan kekuasaan,” tegasnya kepada media-umat.info, Senin (19/5/2025).
Menurutnya, dengan menerapkan politik ini maka kehidupan Islam akan terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Politik Islam melahirkan negara yang berperadaban Islam, karena semua kebijakan politiknya didasarkan pada hukum syariah,” terangnya.
Sebelumnya, Ahmad menyinggung situasi ketika seseorang atau sekelompok orang memperoleh dan mempertahankan kekuasaan dengan cara yang tidak etis dengan sebuah ungkapan ‘membangun kekuasaan di atas kebohongan’.
Misalnya dengan menyebarkan informasi palsu (disinformasi atau propaganda), memutarbalikkan fakta, menutupi kebenaran demi keuntungan pribadi atau kelompok dan menciptakan narasi yang juga palsu hanya untuk mendapatkan dukungan rakyat.
Prinsip Etika Politik Islam
Di antara langkah-langkah yang tak berbeda jauh dari pemikiran Plato berikut konsep republik-nya yang tak lepas dari teori noble lie (kebohongan mulia), maupun gaya politik machiavellis yang tentu saja berlandaskan prinsip-prinsip dari karya Niccolo Machiavelli tersebut, Ahmad mengungkapkan prinsip-prinsip etika politik Islam.
Pertama, prinsip keadilan yang memiliki makna hakikat pelaksanaan hukum-hukum dari Dzat Yang Mahaadil, yaitu Allah SWT. Dengan kata lain, ukuran keadilan adalah hukum Islam bukan konsensus sosial.
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian penegak keadilan…,” demikian perintah Allah SWT dalam QS. Al-Ma’idah: 8.
Kedua, mendorong pengambilan keputusan partisipatif melalui musyawarah (syura), bukan otoritarianisme apalagi upaya mengganti hukum Allah SWT dengan hukum manusia.
Ketiga, politik Islam juga sangat menekankan kejujuran dan transparansi. “Tidaklah seorang pemimpin yang menipu rakyatnya, kecuali Allah akan haramkan surga atasnya,” demikian sabda Nabi SAW dalam hadits riwayat Imam Ahmad dan Bukhari.
Keempat, etika terhadap oposisi dan perbedaan pendapat juga menjadi ciri khas sistem politik Islam.
“Oposisi tidak boleh diberangus secara zalim, dan kritik konstruktif harus diterima dengan lapang dada,” jelasnya, yang berarti institusi negara Islam (khilafah) tidak anti perbedaan tetapi di saat yang sama tetap menjaga akidah umat.
Kelima, politik Islam menolak kekuasaan yang dibangun atas dasar ambisi pribadi, tipu daya, atau kebohongan.
“Politik adalah ladang pengabdian kepada masyarakat dan pertanggungjawaban di hadapan Allah,” ulasnya kembali.
Maknanya, menjunjung tinggi etika tetap relevan bahkan mendesak, di tengah kondisi krisis integritas pemimpin seperti saat ini terjadi.
Karena itu, kembali ditegaskan bahwa politik Islam menawarkan alternatif berbasis nilai spiritual dan tanggung jawab moral, bukan sekadar kekuasaan teknokratik atau populisme kosong.
Itulah praktik etika politik Islam yang tidak berdiri sendiri, tetapi melekat dalam sistem dan institusi negara yang dikenal dengan khilafah, berikut pemimpin ideal yang adil, jujur, amanah, dan bersedia mendengar rakyatnya dalam studi politik yang disebut sebagai khalifah.
“(Maknanya) berbeda dari Plato dan Niccolo Machiavelli, kekuasaan bukanlah hak pribadi melainkan amanah (titipan) dari Allah yang harus dipertanggungjawabkan,” pungkasnya.[] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat