FIWS: Agama Bukan Penyebab Konflik Besar Dunia!

Mediaumat.id – Merespons Religion on Twenty (R-20) yang digelar 2-3 November 2022 di Bali sebagai forum pertemuan para pemimpin agama dan sekte dunia yang bertujuan menjadikan agama-agama sebagai solusi dari masalah dunia dan menghentikan perang, Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS) Farid Wadjdi mengatakan agama bukan penyebab konflik-konflik besar dunia.
“Konflik-konflik besar di dunia internasional pada saat sekarang ini bukan karena faktor agama,” tuturnya di acara Menjadi Politisi Muslim: R-20, Dialog Antar Agama, Solusi Peradaban Dunia? melalui kanal YouTube Peradaban Islam, Senin (7/11/2022).
Invasi Rusia ke Ukraina misalnya tidak ada hubungannya dengan agama. Kedua negara ini mayoritas beragama Nasrani. “Krisis Ukraina digunakan Amerika untuk memperkuat posisi NATO agar tetap di bawah payung Amerika, setelah ada upaya negara-negara Eropa berupaya lepas dari Amerika,” ungkap Farid.
“Konflik-konflik di dunia erat kaitannya dengan kebijakan politik negara-negara kapitalis yang kolonialistik di masa lalu. Dan ini menjadi karakter negara-negara yang berbasis ideologi kapitalisme dengan metode bakunya penjajahan dalam berbagai bentuk,” jelasnya.
Penjajahan itu, sambungnya, bisa berbentuk invasi militer, atau merancang sistem ekonomi kapitalisme global yang menghilangkan tarif-tarif yang dianggap menghalangi lalu lintas ekonomi dunia. Bisa juga atas nama investasi global, termasuk dengan senjata utang. “Itu menjadi jalan negara-negara kapitalis untuk merampok kekayaan alam negara-negara lain,” ujarnya.
Ia mencontohkan krisis di negara-negara Timur Tengah seperti di Irak, Suriah, Yaman itu karena negara-negara Barat melalukan intervensi di negara-negara tersebut untuk merampok kekayaan alamnya terutama minyak.
“Itulah sebenarnya yang mendorong Amerika menginvasi Irak kemudian menimbulkan pergolakan di sana. Jadi, tidak ada kaitannya dengan persoalan agama. Justru kebanyakan konflik merupakan rekayasa negara-negara imperialis dengan adu domba,” bebernya.
Rekayasa
Farid mengatakan, kalaupun ada isu-isu agama justru itu isu rekayasa yang dirancang oleh negara-negara imperialis untuk memecah belah.
“Isu radikalisme yang berujung munculnya kebencian terhadap ajaran Islam. Isu war on terrorism yang memperkuat islamofobia itu tidak lepas dari kebijakan negara-negara Barat. Isu-isu itu merupakan mainan mereka untuk menuduh Islam dan kaum Muslim seolah menjadi sumber persoalan. Karena itu sangat tidak tepat kalau persoalan-persoalan yang ada pada saat sekarang ini dikaitkan dengan agama,” urainya.
Farid lalu menyimpulkan bahwa jika ada konflik di dunia, di situ pasti ada Amerika atau negara-negara Eropa. Dan sekarang, ditambah Cina.
“Dialog antar umat agama atau apa pun istilahnya tidak pernah akan bisa menyelesaikan persoalan konflik, karena akar persoalannya bukan pada agama. Mereka sama sekali tidak pernah menyalahkan ideologi imperialistik kapitalisme global, tidak menyalahkan tatanan ekonomi kapitalis, tidak menyalahkan war on terrorism, war on radicalism,” imbuhnya.
Menurut Farid, kenapa dialog antar umat beragama atau dialog antar peradaban ini bisa muncul tidak lain karena kelompok-kelompok resmi dari agama-agama di dunia termasuk Vatikan sekalipun mereka sebagian besar hidup dalam sistem negara kapitalis.
“Mereka didanai oleh sistem negara yang imperialistik itu. Mereka tergantung pembiayaannya dengan negara-negara kapitalis.
Menjinakkan Islam
Farid menilai, dialog antar agama ini sudah lama digagas. Tujuannya untuk menjinakkan Islam dan sejalan dengan kepentingan negara-negara kapitalis.
“Dari sisi ideologis dialog antar umat beragama berbasis pada persamaan antar agama. Jadi yang dicari bukan kebenaran agama tapi persamaan agama,” ucapnya.
Ini, tegas Farid, menunjukkan bahwa yang dicari itu persamaan bukan kebenaran. Padahal seharusnya manusia itu mencari agama yang benar yang memberi kebaikan pada umat manusia.
“Dalam Islam, dialog antar agama itu dimaksudkan untuk mencari kebenaran, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah mengajak orang-orang kafir jahiliah untuk mencari kebenaran, menunjukkan kesalahan-kesalahan agama mereka dan mengajak masuk Islam,”bebernya.
Islam, kata Farid, tidak menghindari debat, tapi dasarnya mencari kebenaran bukan mencari persamaan karena manusia butuh kebenaran agama.
“Karena itu penolakan klaim kebenaran (seperti yang digagas dalam dialog antar umat beragama) ini sangat berbahaya. Dari sisi akidah Islam juga sangat berbahaya karena bagaimana mungkin menyamakan antara agama yang menyembah batu dengan agama yang benar,” tegasnya.
Jadi, simpul Farid, secara ideologis dialog antara umat beragama ini menghilangkan apa yang disebut klaim kebenaran. Ini akan memunculkan keragu-raguan dalam diri umat Islam terhadap ajaran Islam. Padahal kebenaran mutlak itu ada dan bisa diperoleh melalui proses berpikir, sebagaimana diajarkan Islam.
Menurut Farid, selain kepentingan ideologis, dialog antar umat beragama juga terkait dengan kepentingan politik.
“Kalau di era Perang Dingin, dialog antar umat beragama ditumbuhsuburkan, dibiayai oleh negara-negara berideologi kapitalis untuk berhadapan dengan Uni Sovyet yang ateis. Kalau sekarang dialog antara umat beragama tujuannya untuk menghadang kebangkitan Islam,” bebernya.
Maka, jelas Farid, tidak mengherankan kalau ajaran Islam seperti jihad dan khilafah sering mereka persoalkan. Jihad adalah kewajiban dari Allah SWT yang dengannya akan muncul perlawanan terhadap penjajah. Khilafah akan menyatukan umat Islam seluruh dunia.
“Jadi sebenarnya isu dialog antar umat beragama ini barang lama yang tidak bermanfaat karena tidak terkait dengan persoalan-persoalan krisis dunia sekarang ini,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun