Fakta Hubungan Khilafah-Nusantara, ILKI: Andai Umat Tahu, Tidak Ada Lagi Perdebatan

 Fakta Hubungan Khilafah-Nusantara, ILKI: Andai Umat Tahu, Tidak Ada Lagi Perdebatan

Mediaumat.id – Sejarawan sekaligus Direktur Institut Literasi Khilafah dan Indonesia (ILKI) Septian AW menyampaikan, andai umat Islam mengetahui fakta-fakta adanya hubungan Khilafah dengan Indonesia, tidak akan ada lagi perdebatan soal itu.

“Andaikan umat Islam sudah tahu itu, fakta itu, enggak akan ada perdebatan lagi soal khilafah itu asing di Indonesia,” ujarnya dalam Kelas Sejarah Popularitas Khilafah di Indonesia: Keruntuhan Khilafah dan Relevansinya dengan Sejarah Indonesia, pertemuan kedua, Ahad (27/2/2022) via Zoom Meeting.

Meski begitu, perlu diketahui perdebatan itu baru muncul dan terjadi dalam tataran teknis saja. “Seperti tentang kapan terjadinya koneksi antara Khilafah dengan Nusantara, lalu bagaimana bentuk hubungannya, juga sejauh apa hubungan tersebut terbentuk,” lumrahnya.

Sehingga menjadi fakta, Nusantara adalah wilayah yang memang masuk jalur perdagangan internasional yang menghubungkan dengan wilayah lain termasuk wilayah Timur Tengah pada abad ke-7 M, era yang sudah ada kekuasaan Islam, dalam hal ini Kekhilafahan Islam di dalamnya.

Pun demikian dengan teori sejarah berikut jalur laut Indonesia yang menghubungkan Nusantara dengan yang lain melalui Selat Malaka. Mulai dari Cina menuju India atau pun sebaliknya.

Dari situ, tambah Septian, ada yang langsung ke Persia melalui Timur Tengah. “Artinya Indonesia menjadi salah satu peserta perdagangan yang penting pada jalur sutra ini,” tegasnya.

Secara literasi seperti yang ia kaji, hubungan Kekhilafahan Islam dengan Nusantara memang sudah ada sejak zaman Kerajaan Sriwijaya abad ke 7 M. “Pada masa itu di pesisir timur Pulau Sumatera sudah banyak dikunjungi oleh para pedagang dan pengembara Muslim dari Timur Tengah,” ucapnya mencuplik jurnal dari Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah.

Dikatakan, ketika Raja Sriwijaya mengetahui informasi tentang keberadaan Muslim di daerah kekuasaannya, justru malah tertarik dengan ajaran Islam. “Muncullah surat korespondensi surat-menyurat antara Sriwijaya dengan Khilafah Umayyah. (Yang suratnya) nanti diterima oleh Umar bin Abdul Aziz,” ungkapnya.

Sehingga, sang Khalifah di Istanbul akhirnya dikenal dengan sebutan Sultan Rum atau Raja Rum oleh orang Indonesia, sebagaimana tertulis di dalam literatur Melayu dan cerita rakyat populer.

Keagungan Khilafah

Namun demikian, yang menjadi perhatian Septian adalah lebih ke arah mental kaum Muslim dalam memahami keagungan Khilafah ketika itu. “Walaupun benar apa tidak, terjadi apa tidak, tetapi mereka sudah memahami adanya informasi dan pengaruh (khilafah),” tukasnya.

Mudahnya, ia mengibaratkan saat ini banyak orang menggandrungi K-Pop yang secara mental, masyarakat pun seketika terkoneksi dengan Korea. Meski, sebetulnya Indonesia tidak memiliki relasi atau hubungan langsung dengan negara dimaksud.

Di abad ke 16, sebagaimana ia kutip dari buku The Ottoman Age of Exploration yang ditulis Giancarlo Casale, juga terpampang Aceh membangun hubungan dengan Khilafah Ustmani dan menyatakan ketundukannya kepada Khalifah serta meminta dukungan militer dalam perang melawan Portugis.

Begitu juga pada abad ke-17. “Penguasa Banten, Mataram dan Makassar mengirim utusan ke Makkah untuk memohon pengakuan kekuasaannya dan gelar Sultan Muslim di wilayah masing-masing mereka,” kutipnya dari disertasi yang berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten karya Prof. Dr. Hoessein Djajadiningrat.

Di abad ke-19 juga terungkap permohonan Aceh melalui utusan mereka, Habib Abdurrahman al-Zahir (1833-1896) kepada Sultan Utsmani Abdul Aziz agar memberikan dukungan militer. Tetapi sayangnya, seperti yang diungkapkan Anthony Reid di jurnal artikelnya, Sultan kala itu tidak tertarik dengan petualangan militer yang jauh sehingga menolak untuk membantu.

Walau demikian dengan persektif berbeda dari Sultan berikutnya, Abdul Hamid II, justru memiliki pengaruh kuat terhadap komunitas Muslim di Hindia Belanda. “Antusias terhadap Sultan tidak diragukan lagi karena kebijakan itu hadir bertepatan dengan pembentukan pemerintahan kolonial Belanda yang berlaku pada sebagian besar Nusantara,” terang Septian.

Maknanya, kebijakan politik Pan-Islamisme yang dimaksud, mampu memunculkan persepsi bahwa keberadaan sebuah negara Muslim yang kuat dan dipimpin oleh sultan/khalifah, menjadi sebagai pengingat akan adanya jalan lain untuk lepas dari cengkeraman kolonial Belanda, pemerintahan kufur kala itu.

Sedangkan sarana utama dari kebijakan di Hindia Belanda tersebut, kata Septian, bisa dilihat dari adanya Konsul Utsmani di Singapura dan Batavia, serta keberadaan para jamaah haji Indonesia yang kembali ke Hindia Belanda setelah melakukan ibadah haji, dalam beberapa kasus ada yang sudah menetap lama di Makkah.

Dengan demikian, imbaunya, ketika umat Islam mengingat 3 Maret 1924, diharap tidak hanya mengenang keruntuhan Khilafah Turki Utsmani. Tetapi memperhatikan koneksi Kekhilafahan Islam dengan wilayah-wilayah di dunia termasuk Indonesia yang juga merupakan keniscayaan.

Mengejutkan

Terkait dengan pembubaran institusi kepemimpinan Islam, Khilafah Utsmani, Septian mengatakan, kabar tersebut segera menyebar dan mengejutkan dunia Islam. “Dinamika perubahan politik di Turki tersebut tidak luput dari perhatian Muslim di Hindia Belanda (Indonesia),” tandasnya.

Tetapi, secara sadar kaum Muslim menjadi sering membahas nasib Turki dan Khilafah mereka. “Adanya sikap tersebut mencerminkan adanya ikatan mereka dengan khilafah,” ucapnya.

Hal itu diperkuat dengan diselenggarakannya Kongres Al-Islam yang merupakan agenda pertemuan umat Islam di Hindia Belanda yang menurut Septian, secara keseluruhan 9 kongres diadakan dalam jangka waktu yang tidak tertentu. Yakni sejak 1922 hingga 1932.

“Proses penyelenggaraan kongres ini bertepatan dengan munculnya permasalahan khilafah. Oleh karena itu kongres tidak jarang menjadikan dinamika politik Turki sebagai tema yang dibahas,” tuturnya.

Penting diketahui, terlepas dari peran Mustafa Kemal berikutnya, Kongres Al-Islam pertama yang diadakan di Cirebon pada 31 Oktober hingga 2 November 1922 memberikan perhatian pada masalah Turki yakni Gerakan Mustafa Kemal melawan pendudukan sekutu mendapat simpati luas dari kalangan Muslim Indonesia.

“Melalui kongres mereka mengirimi Mustafa Kemal ucapan selamat atas kemenangannya,” katanya.

Namun, sambung Septian, Kongres Islam Kedua yang diadakan pada 19-21 Mei 1924 di Garut, dua bulan setelah peristiwa keruntuhan, mengangkat isu yang terjadi pada 3 Maret di Turki, yakni tragedi hilangnya kepemimpinan umat Islam, Khilafah.

“Kongres menegaskan perlu mencari persatuan oleh karena itu merupakan sebuah kewajiban dalam mencari solusi atas permasalahan khilafah,” tegasnya.

Surat Kabar

Si sisi lain, kata Septian, sesaat setelah peristiwa keruntuhan terjadi, muncul pemberitaan hebat hingga menarik perhatian dunia, termasuk di Hindia Belanda (Indonesia). Lebih-lebih, perkembangan politik di Istanbul telah menjadi perhatian berbagai surat kabar terutama yang berbahasa Belanda.

Sebutlah, Hed Nieuws Van de Dag Voor Nederlandsch-Indie, sebuah surat kabar yang Septian sebut sebagai yang pertama memberitakannya. ‘De Turksche Nationale Vergadering bespreekt de afschaffing en de deportatie van den Khalief, terwijl alle leden van de Sultans-famillie voor eeuwig van het recht om in Turkije te verblijven beroofd zouden worden.’

“Majelis Nasional Turki membahas penghapusan dan deportasi dari Khalifah, sementara itu hak semua anggota keluarga Sultan untuk tinggal di Turki akan dicabut selamanya,” ucapnya menerjemahkan.

Begitupun dengan surat kabar berbahasa Melayu, Neratja. Dalam surat kabar yang dikelola KH Agus Salim tersebut, kata Septian, juga dimuat serial tulisan yang berjudul Kemanakah Chalifah Islam? Kekaloetan ‘Alam Islam.

Di sisi lain juga terdapat kutipan yang merekap pidato HOS Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam (SI), di dalam sebuah surat kabar Perdamaian yang menyebutkan, khilafah adalah sesuatu yang penting. “Bahkan Tjokroaminoto memandang, bahwasanya khilafah amat dibutuhkan bagi umat Islam,” terang Septian.

Terlebih, lanjutnya, saking pentingnya persoalan khilafah yang telah mengalami keruntuhan kala itu, Tjokroaminoto sampai meyakini bahwa ketiadaan khilafah, kondisi umat Islam seperti badan tanpa kepala.

Tak hanya itu, kepedulian serupa juga datang dari SI yang tergambar dalam kongres internal mereka pada Agustus 1924. “Sarekat Islam memiliki peran paling besar dalam setiap pelaksanaan Kongres Al-Islam meskipun penyelenggaraan kongres tidak semata-mata karena hasil inisiatif mereka saja,” terangnya.

Dalam kongres tersebut, SI telah menegaskan akan membantu dengan segala kemampuan untuk mengirim utusan dari Hindia Belanda ke kongres di Kairo. “Pada kongres juga tercetus kebijakan untuk menerbitkan surat kabar baru yang bernama Bandera Islam,” tambahnya.

Oleh karena itu, Septian menyatakan, keputusan tersebut sangat berpengaruh besar bagi usaha penyadaran urgensinya khilafah kepada masyarakat di Hindia Belanda.[] Zainul Krian

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *