MediaUmat – Permasalahan utang yang melilit Kereta Cepat Whoosh saat ini dinilai sebagai kegagalan perencanaan pembangunan yang kronis pada era Jokowi saat masih menjabat presiden.
“Proyek infrastruktur seperti Kereta Cepat Whoosh yang didanai Cina menunjukkan kegagalan perencanaan pembangunan yang kronis,” ujar Peneliti dari Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak kepada media-umat.com, Sabtu (18/10/2025).
Menurut Ishak, penyebab utamanya adalah ambisi politik Jokowi untuk membangun legacy infrastruktur sering kali mengorbankan akuntabilitas fiskal dan prioritas rakyat. Hal ini juga terjadi di IKN dan Kertajati yang mangkrak akibat tidak direncanakan dengan baik.
Ishak melihat, perencanaan proyek-proyek infrastruktur tersebut tidak didasarkan pada kajian yang komprehensif dan cenderung dibuat untuk menyetujui apa yang sudah diinginkan pemerintah. Sehingga dampaknya, dana APBN yang seharusnya untuk kereta umum atau layanan dasar malah tersedot untuk proyek elite ini, meninggalkan masyarakat biasa dengan kemacetan tambahan dan beban utang jangka panjang tanpa transparansi yang memadai.
Di sisi lain, Ishak membeberkan, pembengkakan utang tersebut merupakan problem yang banyak muncul pada proyek-proyek Belt and Road Initiative (BRI) Cina. Pinjaman tersebut ditengarai banyak yang bersifat predatory lending yang sistematis, proyek infrastruktur sering kali dirancang untuk menguntungkan Beijing melalui kontrak buram, korupsi lokal, dan debt trap (jebakan utang) yang merusak kedaulatan negara tuan rumah.
Ia mengungkapkan, sebelumnya Sri Lanka yang kehilangan pelabuhan Hambantota selama 99 tahun karena tidak mampu membayar utangnya akibat perencanaan yang berbeda dengan realisasinya atau Pakistan yang terjebak utang US$30 miliar dengan proyek CPEC yang kemahalan dan dan tidak feasible (bisa dilakukan). Bahkan, menurut penelitian AidData, BRI telah menyebabkan skandal di 35% proyeknya, termasuk pelanggaran lingkungan, eksploitasi tenaga kerja, dan peningkatan utang hingga 20% PDB di negara berkembang. Hal tersebut pada akhirnya memperbesar ketergantungan ekonomi negara pengutang kepada Cina yang memungkinkan Cina mengontrol aset strategis negara tersebut.
Membandingkan dengan sistem Islam, Ishak mengatakan, dalam perspektif Islam investasi pembangunan dengan menggunakan utang riba jelas haram. Selain itu, berkaca pada pola pendanaan Cina yang mirip penjajahan ekonomi, maka pola tersebut juga bertentangan dengan prinsip di dalam Islam yang melarang kaum muslim berada dalam kontrol negara-negara kafir.
“Apalagi, di tengah keterbatasan APBN, proyek tersebut bukan sesuatu yang mendesak dan masih banyak infrastruktur dasar lain yang mendesak, seperti jalan, bendungan, irigasi yang banyak belum tersedia dan mengalami kerusakan khususnya di level kabupaten yang tersebar di berbagai pelosok Indonesia,” pungkasnya.[] Agung Sumartono
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat