FAKKTA: Tarif Impor 0% untuk Produk AS, Lemahkan Indonesia

MediaUmat – Peneliti dari Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak menyatakan, kebijakan pembebasan (0%) tarif impor bagi produk-produk Amerika Serikat ke Indonesia dalam Kesepakatan Trump-Prabowo dapat berdampak negatif terhadap industri dalam negeri dan melemahkan kemandirian ekonomi nasional dalam jangka panjang.
“Pada akhirnya kebijakan tersebut berpotensi melemahkan kemandirian ekonomi Indonesia, merugikan industri lokal dan kedaulatan ekonomi jangka panjang,” tegasnya kepada media-umat.com, Senin (21/7/2025).
Menurut Ishak, meskipun tarif impor produk Indonesia ke AS sebesar 19 persen merupakan yang terendah di kawasan ASEAN, memberikan keunggulan daya saing pada ekspor tekstil dan alas kaki ke pasar AS serta menurunkan harga barang impor dari AS bagi konsumen Indonesia tetapi kebijakan ini (Kesepakatan Tarif Trump-Prabowo) memiliki sejumlah konsekuensi serius.
Konsekuensinya, jelas Ishak, produk-produk pertanian, otomotif, dan energi dari AS berpotensi membanjiri pasar domestik. Salah satu contohnya adalah impor jagung yang dapat memukul petani lokal yang sedang giat membudidayakan komoditas tersebut.
“Pembelian produk-produk pertanian seperti jagung pastinya akan memukul petani lokal yang saat ini sedang giat membudidayakan jagung,” ungkapnya.
Selain itu, ketergantungan pada minyak dan LPG dari AS, lanjut Ishak, dikhawatirkan akan meningkatkan biaya produksi bahan bakar dalam negeri karena harganya bisa lebih mahal dari yang selama ini diperoleh oleh Pertamina.
“Pembelian minyak dan LPG dari AS berpotensi lebih mahal dari yang selama ini diperoleh oleh Pertamina sehingga akan meningkatkan biaya produksi BBM domestik,” jelasnya.
Begitu juga dengan keharusan pembelian 50 pesawat Boeing yang menurutnya hanya akan membebani keuangan Garuda Indonesia, BUMN penerbangan yang saat ini tengah berada dalam kondisi keuangan yang kritis.
“Jika itu dimaksudkan untuk Garuda maka hanya akan membebani keuangan BUMN itu yang sekarang terancam bangkrut. Pada akhirnya akan membebani APBN,” paparnya.
Dalam pandangannya, situasi ini mencerminkan lemahnya posisi tawar Indonesia di hadapan Amerika Serikat, serta ketimpangan dalam hubungan bilateral kedua negara. Sebagai solusi, Ishak menilai Indonesia harus membangun kemandirian ekonomi dan militer.
“Contoh keberhasilan Tiongkok, yang mampu berdiri sejajar dengan AS melalui kekuatan ekonomi dan militernya, dapat menjadi inspirasi,” ujarnya.
Untuk menjadikan Indonesia sebagai negara kuat secara politik, ekonomi, dan militer, tegas Ishak, diperlukan penerapan sistem pemerintahan Islam secara menyeluruh. Strategi konkret yang disarankan antara lain peningkatan investasi dalam teknologi, pendidikan, dan infrastruktur, serta penguatan subsidi untuk sektor strategis seperti pertanian dan manufaktur.
“Kegiatan bisnis tanpa riba akan memudahkan pelaku usaha mendapatkan modal dan berusaha secara fair (adil), tidak seperti dalam sistem keuangan kapitalisme yang menggunakan mekanisme riba,” jelasnya.
“Kurs yang lebih stabil dengan mata uang emas dan perak serta biaya energi yang lebih murah sebab dikuasai negara akan memperkuat daya saing pelaku ekonomi negara ini,” pungkasnya.[] Lukman Indra Bayu
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat