Mediaumat.id – Menanggapi semakin mengguritanya jaringan oligarki di Indonesia, Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak mengatakan, oligarki tumbuh subur dalam sistem demokrasi.
“Keriuhan yang terjadi di Indonesia saat ini bahwa kita dikuasai oligarki, penyebabnya adalah oligarki tumbuh subur dalam sistem demokrasi kapitalisme,” ungkapnya di acara Kajian Ekonomi Politik: Menguak Jaringan Oligarki Indonesia, Sabtu (7/1/2023) melalui kanal You Tube Khilafah Channel Reborn.
Oligarki adalah sekelompok elite bisnis yang memiliki akses terhadap kekuasaan sehingga mereka mampu memengaruhi pembuatan regulasi di suatu negara. “Bisa jadi mereka tidak tampak dalam struktur pemerintahan, atau dalam perkembangannya oligarki ini sekaligus sebagai pelaksana dari institusi baik eksekutif maupun legislatif,” jelasnya.
Ishak menuturkan, intervensi pemilik modal dalam empat pilar pemerintahan yaitu eksekutif, legeslatif, yudikatif dan media sangat signifikan. “Calon presiden atau calon wakil presiden, calon legislatif saat pemilu mereka membutuhkan dana besar sehingga sangat bergantung kepada pemilik modal. Ketika mereka terpilih harus ‘berterima kasih’ kepada para pemilik modal itu,” bebernya.
Karena intervensi pemilik modal ini, lanjut Ishak, empat pilar pemerintahan yang seharusnya bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, kemajuan rakyat, justru manfaat lebih besar itu kembali kepada kepentingan para pemilik modal, bukan kepentingan rakyat.
“Selain melakukan intervensi kepada empat pilar pemerintahan, pemilik modal juga memperluas jaringan pengaruhnya kepada lembaga swadaya masyarakat, kelompok-kelompok keagamaan, mahasiswa, pelajar dan lain-lain. Mereka bisa dikooptasi oleh kekuatan modal,” ungkapnya.
Oligarki di Indonesia
Ishak mengatakan, oligarki memiliki uang, kerajaan media, jaringan, dan posisi di partai, atau sumber daya untuk menciptakan partai baru yang memungkinkan mereka mendominasi sistem demokrasi baru dan menerapkan strategi untuk mempertahankan kekayaan di luar teater politik.
“Untuk memperebutkan jabatan atau, bagi etnis Tionghoa, untuk mendanai penduduk asli Indonesia yang mencalonkan diri, oligarki harus mengeluarkan sejumlah besar uang, terkadang sampai ke tingkat desa,” ungkap Ishak mengutip hasil penelitian Jeffrey Winters, 2013.
Ishak juga mengutip hasil penelitian Chong 2015 bahwa konglomerat Cina mampu menjaga bisnis mereka dengan baik karena memiliki staf yang berpengalaman untuk mengidentifikasi dan mendekati orang yang tepat di berbagai level politik, dan modal yang cukup untuk menyuap para pengambil keputusan di daerah. Kekayaan dan jaringan sosial mereka yang kuat juga memungkinkan mereka untuk menjalin hubungan dekat dengan pemegang kekuasaan lokal dan pasukan keamanan.
“Beberapa pengusaha besar Cina mengendalikan atau mengintimidasi media yang kritis melalui materi untuk memastikan liputan media tersebut menguntungkan mereka dan bisnis mereka. Dengan cara ini bisnis mereka terlindungi dengan baik,” imbuhnya.
Masih dari penelitian yang sama, ungkap Ishak, elite bisnis Cina Indonesia dianggap sebagai sumber pendapatan penting bagi partai politik yang membutuhkan dana kampanye pemilu yang signifikan untuk memenangkan pemilu lokal.
“Sebagai imbalannya, yang pertama sering berharap untuk menerima perlindungan politik, suap, atau manfaat lain jika kandidat terpilih. Selain itu, sejak munculnya politik elektoral yang kompetitif, terlalu berisiko bagi elite bisnis Cina untuk menawarkan dana hanya untuk satu kandidat tertentu selama pemilihan umum. Oleh karena itu, sebagai perlindungan mereka mensponsori lebih dari satu kandidat, sehingga menciptakan peluang yang lebih tinggi bahwa mereka akan mendukung seseorang yang akan terpilih, untuk nantinya dimintai bantuan,” urainya.
Ishak menilai, intervensi pemilik modal membuat kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan sarat kepentingan oligarki. “Perppu Omnibus Law Cipta Kerja, UU IKN, regulasi batu bara, proyek kereta cepat, proyek ekspor nikel, subsidi kendaraan listrik, kenaikan BBM, semua sarat dengan kepentingan oligarki,” tandasnya.
Islam
Ishak mengatakan, berbeda dengan sistem demokrasi kapitalis, Islam meletakkan kedaulatan di tangan syara’. Hak pembuatan hukum berada di tangan syara’. Aturan harus bersumber dari Al-Quran, Sunnah, Ijma Sahabat, dan Qiyas Syar’i. “Ini menutup intervensi manusia yang bias kepentingan sebagaimana pada sistem demokrasi,” tegasnya.
Dalam Islam, lanjutnya, kekuasaan di tangan umat. Calon khalifah adalah mereka yang memenuhi syarat, yang dipilih lewat majelis umat, sementara wali (kepala daerah tingkat satu) ditunjuk oleh khalifah. “Ini akan meminimalkan biaya pemilu,” terangnya.
Kepemilikan sektor-sektor ekonomi pun diatur berdasarkan syariah. Sektor pertambangan misalnya merupakan milik umum yang wajib dikelola oleh negara. “Ini akan menghilangkan peran swasta/asing menumpuk kekayaan dengan modal minimal,” imbuhnya.
Ishak juga menjelaskan, jaminan distribusi kekayaan dalam Islam dilakukan secara adil kepada seluruh warga negara. Setiap warga negara dijamin pemenuhan kebutuhan pokoknya yaitu makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan dan diberikan peluang memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier.
“Sistem peradilan yang menggunakan syariah Islam sebagai sumber aturan, yang ditunjang oleh penegak hukum yang amanah akan menutup peluang penegakan hukum yang bias kepentingan pihak tertentu,” bebernya.
Ishak lalu memungkasi penuturan dengan mengatakan, “Untuk menghilangkan dominasi oligarki kita harus kembali kepada syariat Islam yang tidak bias kepada kelompok tertentu tetapi untuk seluruh umat manusia sehingga bisa merasakan rahmat dari Allah SWT.” [] Irianti Aminatun