FAKKTA: Harga BBM Bersubsidi Tak Berdasar Biaya Produksi Riil

MediaUmat Merespons pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menyebut ‘selama ini pemerintah menanggung selisih antara harga keekonomian dan harga yang dibayar masyarakat melalui pemberian subsidi dan kompensasi baik energi dan non-energi’, Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak menyatakan biaya pengadaan tidak sepenuhnya mengacu kepada riil biaya produksi BBM sebab pemerintah menggunakan acuan harga internasional.

“Harga subsidi yang dipahami oleh pemerintah yang disebut dengan biaya pengadaan itu sesungguhnya tidak sepenuhnya mengacu kepada riil biaya produksi BBM tersebut sebab pemerintah menggunakan acuan harga internasional,” ujarnya dalam Kabar Petang: Purbaya Ungkap Harga Asli LPG 3 kg-Pertalite Jika Tidak Subsidi, Sabtu (4/10/2025) di kanal YouTube Khilafah News.

Jadi tegasnya, seberapa pun biaya produksi BBM domestik, itu acuannya bukan biaya produksinya tapi harga jual internasional.

“Misalnya begini tahun 2020 itu biaya produksi minyak di Indonesia itu bervariasi memang yang offshore atau onshore. Jadi, semakin mudah lokasi sumur minyak itu maka biaya produksinya semakin murah, semakin sulit semakin mahal,” ujarnya.

Tapi ucap Ishak, rata-rata biaya produksi kalau mengacu BP Migas itu sekitar 4 sampai 26 dolar per barel. Artinya taruhlah rata-rata 20 dolar yang diklaim oleh BP Migas. Biaya produksi harga internasional itu bisa sampai 70, 80, 90 per barel.

“Itu fluktuatif, karena harga minyak internasional ini tidak hanya dipengaruhi oleh faktor supply dan demand secara riil untuk kegiatan ekonomi baik itu untuk listrik atau transportasi, dan industri tapi juga aspek spekulasi,” sambungnya.

Biaya Produksi BBM Rp5.000

Berdasarkan perhitungan Ishak, rata-rata biaya produksi domestik itu sekitar Rp4.000 lebih atau dibulatkan sekitar Rp5.000, dengan harga rata-rata pengadaan itu sebesar 20 dolar per barel.

Labih jauh, ia menilai harga internasional itu semestinya hanya diberlakukan untuk barang impor tadi yang 40% tadi atau 42% untuk bahan bakar produk BBM.

“Sehingga realisasi daripada biaya pengadaan itu jauh lebih rendah dibandingkan yang diklaim pemerintah tadi bisa sampai 12.000 untuk Pertalite bahkan 14.000 dan seterusnya,” jelasnya.

Menurutnya, ini tidak terlepas memang produsen minyak di Indonesia ini dianggap sebagai entitas bisnis. “Entitas bisnis yang harus untung sehingga investasi migas ini menarik,” bebernya.

Lebih lanjut ia menilai, adanya paradigma subsidi yang mengacu kepada harga internasional disebabkan pengelolaan migas negara ini motifnya adalah bisnis.

“Padahal sesungguhnya biaya subsidi itu bisa jadi lebih rendah kalau paradigma ini disesuaikan tadi, tidak lagi mengacu kepada biaya pengadaan berbasis bisnis,” pungkasnya.[] Muhammad Nur

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: