MediaUmat – Ekonom FAKKTA (Forum Analisis dan Kebijakan untuk Transparansi Anggaran) Muhammad Ishak menilai sarat masalahnya kereta cepat Whoosh karena dibangun dari asumsi yang maka meleset pula hasil dari sisi pembiayaan, dari sisi pendapatan dan seterusnya.
“Dan asumsi-asumsi ini memang…begitu dia meleset, maka meleset pula hasil dari sisi pembiayaan, dari sisi pendapatan, dan seterusnya,” ujarnya dalam Fokus Reguler: Patgulipat Kereta Cepat, Ahad (26/10/2025) melalui kanal YouTube UIY Official.
Sebelumnya, ia mengungkapkan kalau berbicara kereta Whoosh, harus dikembalikan ke proses awalnya, proses perencanaan yang ini menjadi penyebab terjadinya banyak masalah di belakangnya.
“Jadi kalau kita lihat, sebenarnya perencanaan kereta cepat ini kan sebelum rezim Jokowi, jadi pada zamannya SBY ada rencana untuk membangun kereta cepat diinisiasi oleh Bappenas dan JIK,” terangnya.
Menurutnya, feasibility study-nya itu menggunakan berbagai macam asumsi.
“Dan kalau kita bicara feasibility study itu kan dari sisi sosial ekonomi, kemudian dari sisi finansial, itu kan ada asumsi-asumsi yang dibangun,” ujarnya.
Ia memandang, feasibility study-nya itu dibuat tahun 2011, kemudian dikontekskan tahun 2015 pada zamannya Joko Widodo.
“Kemudian ada relevansi dari pemerintah daerah itu untuk tidak menerima proposal yang ditawarkan oleh Jepang itu, kemudian masuklah proposal dari Cina yang itu kemudian nilainya itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan proposal yang ditawarkan oleh Jepang 5,5 dan 6,2,” jelasnya.
Ia menjelaskan, proposal yang ditawarkan oleh Cina itu ada satu kelebihan.
“Cina ini ada satu kelebihan yang dimiliki Cina pada saat itu, bahwa proposal mereka itu tidak mengharuskan adanya government guarantee, jadi pemerintah itu tidak perlu campur tangan ikut membiayai proyek ini,” jelasnya.
Sementara Jepang, ulasnya, meminta 100 persen government guarantee, kemudian kepada tender berikutnya itu berkurang menjadi 50 persen.
“Ini yang kemudian salah satu daya tarik dari sisi formalnya, formalitas bahwa dianggap dengan business to business ini, tidak ada jaminan pemerintah, pemerintah akan aman,” simpulnya.
Kemudian yang kedua, lanjut Ishak, dari persoalannya adalah, meskipun bebas dari government guarantee itu, suku bunga yang ditawarkan oleh Jepang itu jauh lebih murah dibandingkan dengan suku bunga yang ditawarkan oleh Cina.
“Jepang itu 0,1 persen, sementara Cina itu 2 persen. Kemudian naik untuk cost overrun (pembengkakan biaya) 3 persen. Nah jadiselisih bunga ini yang kemudian berbeda,” pungkasnya.[] ‘Aziiimatul Azka
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat