MediaUmat – Ekonom senior Faisal Basri menyatakan lebih dari 90 persen nilai tambah nikel dinikmati Cina, bukan Indonesia.
“Lebih dari 90% nilai tambah nikel dinikmati Cina, bukan Indonesia. Modal, teknologi, hingga tenaga kerja semua dari mereka, sedangkan kita cuma sumbang tanah dan subsidi,” ujarnya dalam siniar Dahsyat Temuan Ini! Bongkar ‘Bisnis Gelap’ Tambang, Isinya Banyak Orang Dekat JKW! di kanal YouTube Refly Harun, Kamis (12/6/2025).
Menurut Faisal, smelterisasi yang diklaim meningkatkan nilai tambah dalam negeri hanyalah tipu daya industrialisasi semu. Indonesia hanya menjadi ladang produksi, sementara penguasaan tetap di tangan asing.
“Modal, teknologi, paten, bahkan tenaga kerja semua dari Cina. Kita cuma kasih tanah dan subsidi. Jadi kalau dihitung, kita itu malah minus,” ujar Faisal.
Ia mengkritik keras kebijakan energi dan tambang yang justru membebani negara, karena perusahaan-perusahaan asing diberi fasilitas istimewa, termasuk subsidi besar yang merugikan rakyat.
“Bayangkan, harga batu bara global 345 dolar, tapi mereka cuma bayar 80 dolar karena subsidi dari negara kita. Ini PSN (proyek strategsi nasional), tapi yang menikmati asing,” bebernya.
Alhasil, negara tidak hanya gagal mendapatkan keuntungan dari SDA, tetapi justru menanggung beban kerusakan lingkungan dan sosial akibat eksploitasi besar-besaran tersebut.
“Kalau semua dikalkulasi, bukan cuma kita enggak untung, kita yang tanggung semua biaya kerusakan. Negeri setolol ini enggak ada duanya,” sindirnya.
Dampak Langsung Tambang
Pada bagian lain siniar tersebut, aktivis HAM Haris Azhar menyoroti dampak langsung dari proyek-proyek tambang yang menggusur masyarakat adat dan menempatkan negara sebagai alat represi.
“Empat distrik sudah kosong. Masyarakat adat trauma oleh TNI. Mereka ingin pulang tapi tidak diizinkan. Tanah mereka disiapkan untuk tambang,” ungkap Haris dalam sesi yang sama pada menit akhir tayangan.
Ia menegaskan, kebijakan negara dalam proyek strategis nasional hanya menjadi alat legalisasi perampasan tanah dan hak hidup warga.
“Undang-Undang Cipta Kerja dan bank tanah itu alat untuk melegalisasi perampokan atas nama pembangunan. Papua sudah selesai di atas kertas,” tegas Haris.
Untuk menutupi kejahatan struktural ini, negara terus menggulirkan narasi separatisme dan menjadikan warga korban sebagai musuh negara.
“Negara lebih sibuk membusukkan OPM, padahal akar masalahnya adalah ketidakadilan struktural dan pengusiran sistematis rakyat Papua,” jelasnya.
Menurutnya, kondisi ini menunjukkan negara tidak lagi berpihak pada rakyat, tetapi melayani korporasi asing dan elite politik yang menjadi bagian dari jaringan oligarki tambang.[] Zainard
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat