Empat Tanggapan LBH Pelita Umat tentang Pembubaran Pengajian ‘Khilafah Akhiri Hegemoni Dolar’

Mediaumat.id – Setidaknya ada empat alasan yang membuat pengajian/pengkajian bertajuk Khilafah Mengakhiri Hegemoni Dolar dengan Dinar dan Dirham tidak boleh dipersoalkan apalagi sampai dibubarkan sebagaimana kasus yang terjadi di Pasuruan beberapa hari lalu. Hal tersebut disampaikan Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan kepada Mediaumat.id, Sabtu (24/6/2023).

Pertama, merujuk Ijtima MUI yang menyatakan khilafah dan jihad adalah bagian dari ajaran Islam. Termasuk pembahasan khilafah terdapat dalam kitab-kitab fiqih, kitab-kitab tafsir, kitab-kitab matan dan syarh hadits, kitab tarikh.

“Bahkan salah seorang ulama Nusantara yang salah satu karyanya pernah menjadi pegangan wajib perguruan menengah dan perguruan tinggi Islam di Indonesia dan Malaysia, yakni H. Soelaiman Rasjid bin Lasa, juga berbicara tentang khilafah di bukunya Al-Fiqh al-Islami (Fiqh Islam),” ujar Chandra.

Kedua, khilafah bukan ideologi dan paham melainkan sistem pemerintahan Islam, merujuk pendapat H. Soelaiman Rasjid bin Lasa di bukunya Al-Fiqh al-Islami (Fiqh Islam), yang menyatakan:

“Al-Khilafah adalah suatu susunan pemerintahan yang diatur menurut ajaran agama Islam, sebagaimana yang dibawa dan dijalankan oleh Nabi Muhammad SAW semasa hidup beliau, dan kemudian dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abu Talib). Kepala negaranya dinamakan khalifah … Kaum Muslim (ijma’ yang mu’tabar) telah bersepakat bahwa hukum mendirikan khilafah adalah fardhu kifayah atas semua kaum Muslim” (H. Soelaiman, Fiqh Islam, Penerbit Sinar Baru Algesindo, cet. ke-80, Bandung, hlm. 494-495).

Ketiga, sepatutnya mengkaji atau kajian terkait ajaran Islam dalam hal ini sistem pemerintahan Islam yaitu khilafah sepatutnya tidak dipersoalkan. “Jika dipersoalkan, sepatutnya harus adil yaitu mempelajari sistem pemerintahan lain semisal dari kapitalisme, demokrasi, parlementer, presidensial juga turut dipersoalkan,” ujarnya.

Keempat, kegiatan keagamaan tidak wajib izin dan tidak wajib pemberitahuan. “Perlu diketahui tidak semua kegiatan harus ada izin dan pemberitahuan,” terang Chandra.

Terkait hal tersebut Chandra pun menyebutkan tiga jenis pembagiannya. (1). Wajib izin seperti kegiatan keramaian, misalnya pesta kembang api, konser, dan lainnya, berdasarkan pasal 510 KUHP.

(2). Wajib pemberitahuan dan tidak wajib izin, yaitu kegiatan menyampaikan pendapat di muka umum seperti unjuk rasa, demonstrasi, pawai, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

(3). Tidak wajib pemberitahuan dan tidak wajib izin, yaitu kegiatan keagaaman dan akademik kampus sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (4) UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.[] Joko Prasetyo

 

Menjalankan agama atau beribadah atau menyakini ajaran agama adalah hak asasi, hak asasi itu artinya hak yang telah ada semenjak manusia lahir, atau hak yang telah ada meskipun tidak ada negara.

 

Dalam konsep hukum, membicarakan “hak” dengan padanan kata “right” artinya “kebebasan yang diberikan oleh hukum”. Bandingkan dengan konsep hukum “izin” dengan padanan kata “pembolehan”, maka apabila menggunakan literatur yang ada, dimana “izin” adalah “pembolehan” dimana esensi sebelumnya merupakan “tidak boleh”.

 

Sehingga membicarakan hak tidak diperlukan “izin”. Sebuah konsep hukum yang tidak tepat apabila “hak” disandingkan dengan kata-kata “izin”. Dengan merujuk kepada prinsip yang berbeda antara “izin” dan “hak” maka mempunyai konsekwensi hukum. Izin memerlukan “persetujuan” dari pejabat yang “berwenang”, sedangkan hak tidak diperlukan “persetujuan dari manapun.

 

Demikian.

 

IG @chandrapurnairawan

Share artikel ini: