Empat Dampak Langsung dari Kesepakatan Tarif Trump-Prabowo

 Empat Dampak Langsung dari Kesepakatan Tarif Trump-Prabowo

MediaUmatKepala Departemen Makroekonomi INDEF Dr. M. Rizal Taufikurrahman membeberkan empat dampak langsung dari Kesepakatan Tarif Presiden Amerika Serikat Donald Trump dengan Presiden Indonesia Prabowo Subianto.

“Kalau kita cermati dampak langsung —baik jangka pendek, jangka panjang— dari keputusan tarif impor AS terhadap produk Indonesia dari 32% menjadi 19%, yang disertai dengan berbagai komitmen pembelian oleh AS seperti sektor energi dan Boeing, setidaknya terdapat empat implikasi penting yang akan dirasakan dalam satu hingga dua tahun ke depan,” ujarnya dalam Fokus Reguler: Negosiasi Tarif: Indonesia Kalah, AS Menang Banyak? di kanal YouTube UIY Official, Ahad (20/7/2025).

Pertama, terdapat relaksasi tekanan ekspor Indonesia. Penurunan tarif ini, sebut Rizal, secara nominal tampak signifikan dan memberi ruang napas bagi produk ekspor tertentu seperti tekstil, alas kaki, furnitur, dan elektronik ringan.

“Produk-produk tersebut selama ini memiliki ketergantungan tinggi terhadap pasar AS dan umumnya berasal dari sektor padat karya yang relatif cepat merespons perubahan biaya karena fleksibilitas struktur produksinya,” bebernya.

Namun demikian, Rizal mengingatkan, mayoritas produk tersebut bernilai tambah rendah dan harus tetap bersaing dengan negara-negara lain seperti Bangladesh dan Vietnam yang sudah memiliki free trade agreement (FTA) dengan AS.

“Artinya, meski tarif turun menjadi 19%, posisi tarif kita tetap kurang kompetitif dibanding negara pesaing utama yang menikmati tarif preferensial,” ujarnya.

Kedua, terjadi kompensasi impor yang membebani neraca. Komitmen pembelian barang dari AS, seperti energi dan pesawat Boeing, akan langsung tercermin dalam kenaikan impor barang modal dan konsumsi dari AS.

“Hal ini tentu akan memberikan tekanan terhadap neraca perdagangan dan transaksi berjalan Indonesia karena sifatnya capital outflow tanpa offset langsung dari ekspor bernilai tinggi,” kata Rizal.

Ketiga, dinamika kebijakan perdagangan AS yang bersifat fluktuatif. Meskipun saat ini tampak harmonis, stabilitas relasi dagang ini akan sangat tergantung pada arah kebijakan dan dinamika politik AS menjelang pemilu presiden 2028.

“Trump cenderung memanfaatkan instrumen perdagangan untuk kepentingan elektoral, sehingga arah kebijakan bisa sangat volatile,” ujar Rizal.

Keempat, potensi pemborosan fiskal akibat pengadaan tanpa analisis biaya-manfaat memadai. Misalnya, pembelian 50 unit Boeing, sangat dikhawatirkan tidak melalui proses evaluasi cost-benefit analysis secara transparan.

“Ini berpotensi membebani fiskal negara dan BUMN penerima, seperti Garuda Indonesia yang saat ini masih dalam kondisi keuangan yang rapuh dan bahkan mendapatkan intervensi dari Danantara hampir Rp6 triliun,” tegasnya sembari menyatakan risiko over-purchase tanpa utilisasi maksimal akan memperbesar ruang pemborosan fiskal.

Risiko Jangka Panjang

Menurut Rizal, kesepakatan tarif yang bersifat temporer ini juga menyimpan setidaknya lima risiko struktural yang signifikan bagi perekonomian Indonesia dalam jangka panjang.

Pertama, risiko ketergantungan ekonomi. “Kita menghadapi ancaman ketergantungan struktural terhadap AS, baik dari sisi produk impor bernilai tinggi maupun struktur ekspor bernilai tambah rendah,” paparnya.

Kedua, terjadinya erosi kemandirian industri nasional. Tren deindustrialisasi prematur makin mengkhawatirkan karena sektor manufaktur tidak mampu menjaga daya saing dan produktivitas.

“Kontribusi sektor industri terhadap PDB dan tenaga kerja terus menurun, ini mencerminkan penurunan kapasitas transformasi struktural ekonomi kita,” lanjutnya.

Ketiga, ketidakpastian kebijakan dagang akibat absennya payung hukum multilateral seperti FTA atau WTO framework.

“Ketika kesepakatan hanya berbasis bilateral dan tidak mengikat secara hukum internasional, maka risiko policy volatility—perubahan kebijakan secara mendadak dan sepihak—menjadi sangat tinggi. Hal ini menyulitkan dunia usaha untuk melakukan perencanaan jangka panjang,” kata Rizal.

Keempat, menurunnya posisi tawar Indonesia dalam sistem perdagangan global. “Jika pola bilateral ini terus berlanjut tanpa strategi jangka panjang yang terukur, maka Indonesia bisa kehilangan leverage dalam forum multilateral seperti WTO maupun kelompok ekonomi besar seperti BRICS,” ujarnya.

Dalam jangka panjang, sebut Rizal, posisi Indonesia akan semakin marjinal dalam struktur global.

Kelima, kesenjangan transaksi perdagangan. Jika tren ini berlanjut, sebut Rizal, ekspor Indonesia ke AS tidak akan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan impornya.

“Maka, kita berpotensi menghadapi defisit perdagangan bilateral kronis yang menambah tekanan pada cadangan devisa dan nilai tukar rupiah,” tutup Rizal.[] Novita Ratnasari

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *