Eijkman Melebur ke BRIN, Prof. Fahmi Sebut Pendekatan Klasik-Kapitalistik

Mediaumat.id – Peleburan Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dinilai sebagai pendekatan klasik yang kapitalistik. “BRIN ini masih memakai pendekatan ‘klasik-kapitalistik’, yaitu riset untuk kekayaan intelektual (publikasi, paten, jasa ilmiah),” ujarnya kepada Mediaumat.id, Senin (03/01/2022).

Maka itu, lanjut Fahmi, masih perlu tambahan energi lagi agar BRIN menjadi motor untuk ‘riset untuk kemandirian dan kedaulatan bangsa’. “Tidak semua riset masih dapat ditemukan novelty-nya yang dapat diterima di jurnal ilmiah internasional, atau layak dipatenkan,” argumennya.

Di samping itu, ada teknologi strategis tertentu yang tetap disimpan negara-negara adidaya yang juga tidak akan mereka ekspor atau pun ajarkan ke orang luar. “(Di sinilah) teknologi itu harus kita rebut sendiri dengan riset,” tegasnya lagi.

Sekilas LBM Eijkman

Perlu dipahami, kata Fahmi, LBM Eijkman selama ini bukan lembaga resmi pemerintah. Artinya, LBM Eijkman adalah sebuah unit proyek di kementerian riset dan teknologi (Kemenristek). Faktor ini pula yang menyebabkan para PNS periset di sana tidak dapat diangkat sebagai peneliti penuh dan berstatus seperti tenaga administrasi.

Penting juga diketahui, sejak September 2021, LBM Eijkman ternyata telah berubah menjadi Pusat Riset Biologi Molekular (PRBM) Eijkman di bawah BRIN.  “BRIN (juga) sudah membangun lab yang lebih representatif di Cibinong Science Center,” bebernya.

Padahal, sambung Fahmi, PRBM saat ini masih di bawah Organisasi Riset (OR) Ilmu Pengetahuan Hayati (IPH).  Namun setelah penataan bersama eks litbang kementerian dan lembaga lainnya, PRBM akan berada di bawah OR Kesehatan.

Bahkan, perlu diketahui pula, selama ini LBM Eijkman sudah banyak merekrut tenaga honorer di luar ketentuan, yakni tidak melalui tes atau uji kompetensi.

Oleh karena itu, BRIN hadir memberi opsi sesuai status mereka. Antara lain, bagi PNS periset, dilanjutkan menjadi PNS BRIN sekaligus diangkat sebagai peneliti. Berikutnya, untuk honorer periset usia 40 tahun ke atas dan S3 bisa mengikuti penerimaan ASN jalur PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) 2021.

“Sejak ada Undang-Undang 5/2014, tidak dikenal lagi istilah pegawai honorer atau pegawai pemerintah non pegawai negeri (PPN0PN),” terangnya.

Sedangkan honorer periset usia di bawah 40 tahun dan S3, bisa mengikuti penerimaan ASN jalur PNS 2021. Sementara itu, untuk yang non S3 dipersilahkan melanjutkan studi dengan skema by-research dan RA (research assistantship). “Sebagian ada yang melanjutkan sebagai operator lab di Cibinong, bagi yang tidak tertarik lanjut studi,” sambungnya.

Dan khusus untuk honorer non periset, akan diambil alih RSCM, sekaligus mengikuti rencana pengalihan gedung LBM Eijkman ke RSCM sesuai permintaan Kemenkes yang memang memiliki aset tersebut sejak awal.

Dengan demikian, untuk honorer periset non S3, menurut Fahmi akan merasa kewalahan ketika harus menyiapkan rencana studi S3 hanya dalam 4 bulan, yakni sejak September s/d Desember 2021. “Sedang honorer non periset merasa sudah in-group dengan LBM Eijkman, sehingga merasa canggung untuk adaptasi di lingkungan baru bersama RSCM,” ujarnya.

Lantas, untuk personal dengan status selain itu, menurut Fahmi, sebagian ternyata juga keberatan dengan birokrasi proses menjadi peneliti, ujian penerimaan ASN jalur PPPK atau pun PNS.

Dari semua itu, Fahmi memandang, apa pun yang dipilih, semua tim kerja di dalam LBM Eijkman akan mengalami interupsi.  “Tim tidak lagi dapat dipertahankan, dan banyak penelitian yang sedang berjalan, termasuk penelitian vaksin merah putih, berpotensi terganggu,” tuturnya.

Polemik

Di sisi lain, ungkap Fahmi, ternyata banyak peneliti di Indonesia yang mengalami satu atau lebih permasalahan. Misalnya, pertama, dikarenakan seumur-umur hanya menjadi periset, seorang peneliti jarang yang mengenal manajemen birokrasi, apalagi memiliki wawasan kenegarawanan.

Kedua, menjadi periset karena ‘dibuang’, disingkirkan dari unit operasional atau bahkan diberhentikan dari jabatannya, ‘dilitbangkan’.

Ketiga, hasil risetnya tidak bermutu. “Tidak bunyi di kancah publikasi ilmiah internasional, tidak layak paten, tidak juga dipakai di industri atau pun laku di masyarakat,” tandasnya.

“Namun mereka di ‘zona nyaman’, selalu dapat gaji dan tunjangan (yang sekarang dapat dibilang cukup sejahtera), bisa lancar naik pangkat, dan bila perlu dapat mengikuti seleksi jabatan struktural (jabatan pimpinan tinggi) yang dapat diikuti oleh pejabat fungsional madya atau utama,” sambung Fahmi menjelaskan.

Selain itu, mereka juga selalu memperoleh kucuran anggaran untuk ‘melakukan sesuatu’ yang meskipun hasilnya, menurut Fahmi, kurang terukur.

Kenyataan-kenyataan tersebut, kata Fahmi, terutama terjadi di litbang di bawah kementerian/lembaga. “Adapun di lembaga pemerintah non kementerian (LPNK) di bawah Kemristek, yaitu LIPI, BPPT, BATAN dan LAPAN, relatif lebih baik,” katanya.

Maka itu, ia tak heran banyak ‘serangan’ dari anggota DPR. Termasuk Komisi VII, membidangi ristek yang selalu berhadapan dengan Menristek yang hanya membawahi empat LPNK, serta tak punya akses ke litbang di kementerian/lembaga lainnya. “Dari Rp26 triliun total anggaran riset, hanya sekitar empat triliun yang di bawah kendali Kemenristek,” ungkapnya.

Lantaran itu, maka solusinya adalah semua riset dilebur ke dalam BRIN.  “BRIN sekaligus diminta mengurusi hilirisasi riset ke dalam inovasi yang berguna langsung di industri atau melayani masyarakat,” tandasnya.

Terakhir, Fahmi memandang, para peneliti yang berpolemik tadi biasanya hanya melihat nasibnya yang jadi lebih ‘abu-abu’ dan kurang melihat sisi terangnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: