Dua Negara Anggota Tolak Keputusan ICC, FIWS: Setidaknya Tegaskan Netanyahu Penjahat Perang

Mediaumat.info – Terlepas dari ketidakmampuan mengintervensi negara anggota yang tak mematuhi perintah untuk menangkap Benjamin Netanyahu, setidaknya keputusan Mahkamah Kriminal Internasional (International Criminal Court/ICC) itu menegaskan perdana menteri (PM) Zionis Yahudi tersebut adalah penjahat perang.
“Lepas dari ketidakmampuan itu, ini tentu menjadi penting untuk menegaskan bahwa Netanyahu itu adalah penjahat perang,” ujar Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS) Farid Wadjdi kepada media-umat,info, Selasa (26/11/2024).
Bahkan, menurutnya, penegasan ini juga sekaligus menunjukkan kejahatan Amerika Serikat dan negara-negara Barat pendukung entitas penjajah Yahudi yang kerap disebut sebagai negara Israel.
“Keputusan ICC ini sekaligus menunjukkan kejahatan dari negara-negara pendukung entitas penjajah Yahudi, yaitu kejahatan Amerika Serikat dan Barat lainnya,” tandasnya.
Sebagai informasi, ICC sebelumnya telah mengeluarkan surat perintah penangkapan PM Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant pada Rabu (20/11) menyusul tindakan agresi Zionis Yahudi di Gaza yang hingga kini belum berhenti.
“[Pengadilan] mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk dua orang, Tn. Benjamin Netanyahu dan Tn. Yoav Gallant, atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang yang dilakukan setidaknya sejak 8 Oktober 2023 hingga setidaknya 20 Mei 2024, hari ketika penuntutan mengajukan permohonan surat perintah penangkapan,” demikian pernyataan ICC.
Bahkan menurut Statuta Roma, semua keputusan yang sudah diambil ICC wajib dipatuhi oleh seluruh negara yang menjadi anggotanya. Artinya, keputusan ICC untuk menangkap Netanyahu dan Gallant harus dipatuhi oleh negara-negara anggota ICC.
Tak ayal, keputusan ICC ini membuat Netanyahu dan Gallant menjadi buronan di 124 negara anggota ICC, termasuk Hungaria dan Argentina.
Namun sebagaimana pula diberitakan sebelumnya, kedua negara tersebut justru menolak mematuhi keputusan ICC ini. Pasalnya, selama ini Hungaria telah menjalin hubungan politik yang erat dengan entitas penjajah Yahudi. Pun demikian dengan Argentina yang menyebut serangan Zionis Yahudi terhadap warga Palestina sebagai ‘pembelaan diri’.
Gagal
Karena itu, sama halnya dengan PBB, Farid memandang ICC juga telah gagal menyelesaikan persoalan dunia. Tak hanya itu, kegagalan ini sekaligus menunjukkan beberapa kelemahan dari Pengadilan Kejahatan Internasional tersebut.
Pertama, keterbatasan yurisdiksi atau kekuasaan maupun kompetensi hukum negara terhadap orang, benda atau peristiwa hukum, yang menurut Farid, bersifat tidak universal.
“ICC itu hanya memiliki yurisdiksi atas negara-negara yang meratifikasi statuta Roma. Sementara negara-negara besar seperti Amerika, Cina, Rusia dan Israel itu tidak menjadi anggotanya,” jelasnya, yang berarti ICC tidak bisa menuntut langsung kecuali dirujuk oleh Dewan Keamanan PBB.
Kedua, ICC tak memiliki pasukan atau alat penegakan hukum. Sementara, supaya setiap keputusan hukum bersifat mengikat, mengharuskan pelaksanaan eksekusi oleh suatu kekuatan (power).
“Power itu, mau tidak mau dalam dunia internasional itu terkait dengan pasukan. Bisa itu pasukan dari PBB, pasukan dari satu negara besar,” terangnya.
Maka tak heran, ketika ada anggotanya seperti Hungaria dan Argentina yang menolak keputusan organisasi, otoritas organisasi tak mampu mengintervensi lebih lanjut. “Kalau mereka tidak mau, ya tidak bisa kemudian dieksekusi karena tidak memiliki pasukan,” kata Farid menambahkan.
Ketiga, penyelesaian dari suatu kasus yang cenderung membutuhkan waktu lama. Sehingga, sebagaimana disebutkan sebelumnya, hal ini sekaligus menunjukkan kegagalan dari tatanan global yang dibangun oleh Barat berikut dominasi kapitalisme di dalamnya.
Sebab itulah, menurut Farid, kaum Muslim tak bisa berharap banyak terhadap organisasi seperti ICC atau yang serupa lainnya di dalam menuntaskan konflik yang melibatkan negeri Islam, termasuk Palestina.
Umat harus memiliki kekuatan independen yang bertindak atas dasar kepentingan Islam dan umatnya. Dengan kata lain, tak ada cara untuk bisa menuntaskan persoalan umat selain mewujudkan kembali khilafah yang mengikuti jalan kenabian.
“Itu tidak akan terwujud tanpa adanya negara khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah,” pungkasnya.[] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat