Dua Alasan Tahu Hukum Al-Qur’an Wajib Diterapkan Tetapi Tidak Diterapkan

Mediaumat.info – Ulama KH Rokhmat S Labib menyatakan dua alasan faktor penyebab para kiai, ustadz, dan tokoh umat tahu hukum-hukum dalam Al-Qur’an itu wajib tetapi malah tidak diterapkan.

“Nah, kalau tadi disebutkan mengapa kok tidak menjadikan (diterapkan), itu mungkin ada dua macam,” ucapnya dalam Memperingati Nuzulul Al-Qur’an: Al-Qur’an dan Peradaban Dunia, Ahad (16/03/25) di kanal YouTube One Ummah TV.

Pertama, mereka tahu akan kewajiban penerapan Al-Qur’an, hanya saja bisa jadi memang ada kecondongan bukan kepada Al-Qur’an.

“Al-Qur’an itu ditempatkan sebagai amal ibadah saja. Al-Qur’an itu dianggap ibadahnya itu membaca Qur’an itu, menghafal Al-Qur’an, tidak lebih dari itu,” jelasnya.

Sehingga, lanjutnya, mereka lebih memilih sistem-sistem hukum selain dari Islam.

Kedua, mereka dipaksa oleh negara. “Kemungkinan besar yang kedua ini, mereka ditanya setuju dengan hukum Al-Qur’an mestinya setuju. Tetapi karena memang ada negara yang punya kekuasaan, memaksakan, jadi intinya kamu boleh amalkan apa, kamu silahkan imani Al-Qur’an, kamu boleh membaca Al-Qur’an, kamu boleh menghafal Al-Qur’an, tapi jangan amalkan Al-Qur’an kan begitu,” tegasnya.

Jadi ungkapanya, mereka dipaksakan oleh negara untuk mengamalkan Al-Qur’an hanya di aspek-aspek pribadi saja, tidak boleh masuk di dalam bingkai negara.

“Jadi Al-Qur’an itu juga dipilih-pilih oleh ini negara dan kekuasaannya yang kemudian menghalangi,” bebernya.

Padahal, lanjutnya, tugas ulama itu hanya sekadar menyeru atau menasehati.

“Jadi, nah kita sebagai ulama, sebagai kiai sebagai ustadz, itukan hanya menyeru, sifatnya kita hanya bisa menyeru wahai saudara shalatlah kan gitu, saudara puasalah karena itu diberikan pahala allah SWT, saudara jauhilah riba, nah kita hanya bisa menyampaikan yang bisa melakukan tindakan rill itu ya negara,” ujarnya.

Kiai Labib mencontohkan. Misalnya, shalat yang di dalam kitab fikih hukum shalat wajib. Namun jika ada orang yang tidak shalat itu ada dua macam. Kalau dia yakin shalat tidak wajib, maka dia murtad, hukumnya mati. Kalau malas, tidak murtad. Namun tetap dihukum, Kalau tetap tidak mau shalat, menurut mazhab Syafi’i, hukumannya mati.

“Nah, pertanyaannya, siapa menerapkan ini? Kiai-kiai membaca kitab itu ya dibaca saja, oh ya ada pendapat ini, tapi kiai, para ulama, para asatidz hanya bisa membaca tidak bisa menerapkan, karena ada negara yang tidak mengerjakan,” ujarnya.

Justru, bebernya, kalau disampaikan, kiainya disebut oleh negara sebagai radikal membahayakan.

“Sehingga kalau mau ditanyakan bukan bisa, bukan tidak mau, tapi mereka dipaksa untuk menerima sistem dan hukum selain berasal Al-Qur’an,” pungkasnya.[] Setiyawan Dwi

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: