Dispensasi Nikah, Istilah Pengelabuan Perzinaan?

Mediaumat.id – Berkenaan dengan terminologi ‘dispensasi nikah’ yang ramai di pemberitaan, Pengasuh PP Tahfiz Khairu Ummah Rancah Ciamis Kiai Ibnu Aziz Fathoni justru memandang penggunaan istilah itu sebagai bentuk pengelabuan kepada masyarakat tentang sebuah tindak kejahatan dalam hal ini perzinaan.

“Ini permainan kata, ini betul-betul telah mengelabui masyarakat kita sehingga seolah-olah sebuah kejahatan, sebuah kemaksiatan itu menjadi sesuatu yang wajar, yang lumrah,” ujarnya dalam Ngopi: Dispensasi Nikah, Indonesia Darurat Seks Bebas, Ahad (29/1/2023) di kanal YouTube Peradaban Islam ID.

Sebutlah istilah lain seperti koruptor, yang dikemas menjadi perbuatan penyalahgunaan wewenang. Begitu pula pezina atau pelacur yang menurutnya diganti dengan pekerja seks komersial.

Karenanya sekali lagi, kata Kiai Aziz, permainan kata ini seolah memang mengalihkan psikologi masyarakat tentang sebuah standar nilai dari suatu perbuatan. “Permainan kata-kata ini seolah-olah memang mengalihkan ya, mengalihkan psikologi masyarakat tentang standar nilai,” tandasnya.

Lantas terkait maraknya fenomena pengajuan dispensasi nikah yang faktanya ternyata banyak disebabkan oleh perzinaan hingga hamil di luar nikah, dinilai karena negeri ini tengah menerapkan sistem kehidupan yang jauh dari nilai-nilai Islam.

“Indonesia sedang menerapkan satu sistem kehidupan yang jauh dari nilai-nilai Islam. Maka saya yakin, hampir yakin, bahwa fenomena sosial ini akan sama (di tempat lain),” tuturnya, yang berarti perzinaan sudah marak terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Gagalnya Sistem Pendidikan

Artinya pula, hal ini menjadi pesan bahwa sistem pendidikan di negeri ini telah gagal. “Ketika fenomena ini (hamil di luar nikah) sudah marak di tengah-tengah masyarakat, ini juga menjadi message (pesan) pada kita bahwa ini sistem pendidikan kita itu gagal,” sebutnya.

Untuk diketahui, ungkap Kiai Aziz, salah satu slogan yang kemudian pernah menjadi visi dari pendidikan di negeri ini adalah membangun generasi peradaban yang cerdas, terampil, beriman, takwa, peduli masyarakat, berguna bagi agama, nusa dan bangsa serta negara.

Tetapi sayangnya, nilai keimanan dan ketakwaan sekarang ini tidak ada. “Misi visi kepada ketakwaan itu menjadi tidak ada,” tukasnya.

Apalagi, beber Kiai Aziz, lingkungan keluarga dan masyarakat belakangan ini sudah tidak terlalu peduli terhadap persoalan kontrol sosial. Terlebih tradisi amar makruf nahi mungkar. Ditambah peran negara yang terkesan tidak menginginkan keshalihan dari para generasinya. Bahkan diperparah dengan pelabelan sebagai generasi radikal kepada anak didik yang dekat dengan masjid maupun akrab dengan nuansa keislaman, misalnya.

“Ini memang serba susah ketika kita bicara tentang solusi dalam pandangan Islam,” cetusnya, seraya menjelaskan bahwasanya hanya di dalam Islam terdapat ketentuan syariat untuk bisa mencapai visi dari sebuah lingkungan pendidikan.

Sehingga diharapkan Kiai Aziz, ketika perzinaan terjadi lantas berdampak kehamilan, solusinya bukan hanya pemberian dispensasi nikah, tetapi lebih kepada mekanisme pencegahan untuk tidak terulang.

Perlu diingat, asal sudah akil baligh, syariat Islam membolehkan seseorang baik laki-laki maupun perempuan untuk menikah. “Mestinya tidak bikin undang-undang yang bikin ribet yaitu usia 19 tahun,” sebutnya.

“Nanti tinggal menumbuhkan sikap kesiapan kedewasaan untuk menjalani pernikahan,” imbuhnya.

Lantas terkait mekanisme pencegahan, terdapat ketentuan yang lain. Di antaranya, kewajiban menutup aurat di tempat umum bagi masing-masing perempuan dan laki-laki.

Larangan bercampur antara laki-laki dan perempuan baligh. Termasuk keharaman tabarruj  atau menampakkan ‘kecantikan’, aturan menundukkan pandangan di tengah kehidupan sosial masyarakat.

Begitu pula dengan berdua-duaan dengan lawan jenis bukan mahram. “Janganlah seorang pria berkhalwat dengan seorang wanita (tanpa disertai mahramnya) karena sesungguhnya yang ketiganya adalah setan,” demikian bunyi salah satu hadits riwayat Imam Ahmad.

Setelah upaya pencegahan tersebut sudah diberlakukan, sambung Kiai Aziz, baru kemudian bicara tentang hukum atau sanksi pidananya. “Kalau kemudian memang dalam Islam itu secara preventif sudah disiapkan lalu tetap terjadi zina, maka sanksinya pun tidak main-main,” ujarnya.

Ia pun menyampaikan, bahwa bagi pelaku zina belum menikah, dijilid (cambuk) seratus kali. Sedangkan pezina yang sudah menikah dirajam sampai mati.

Dengan demikian, jelaslah Islam berikut perangkat hukum di dalamnya mampu memuliakan seluruh manusia. “Di balik ini semua, inilah bagaimana Islam itu memuliakan manusia, martabat manusia, tidak seperti paham kebebasan (saat ini) yang memang meniadakan regulasi ini,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: