Ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan Cina kembali memanas setelah badan intelijen Amerika Serikat, CIA bakal menciptakan misi khusus untuk memata-matai Cina, mengakibatkan mayoritas negara-negara Asia berada pada posisi terjepit di antara dua raksasa yang tengah bertarung dan hanya menjadi objek kepentingan negara adidaya tersebut.
“Mayoritas negara-negara Asia akhirnya berada pada posisi terjepit (sandwiched) antara dua raksasa yang tengah bertarung,” ujar Direktur Institut Muslimah Negarawan (IMuNe) Dr. Fika Komara kepada Mediaumat.news, Ahad (15/8/2021).
Menurutnya negara yang berada dalam posisi terjepit terutama yang memiliki posisi maritim strategis dan potensi ekonomi yang tinggi. Khususnya negeri Muslim seperti Indonesia, Malaysia bahkan Brunei Darussalam. “Negara-negara ini terus menjadi objek kepentingan negara adidaya jika tidak memiliki ideologi yang kuat,” sambungnya.
Fika menilai, CIA sebagai badan spionase Amerika Serikat memang memiliki fungsi untuk memata-matai musuh negaranya. Umur spionase sebenarnya sudah setua kekuasaan itu sendiri, namun untuk gerakan spionase AS sendiri telah berkembang pesat sejak era Perang Dingin untuk mengawasi Uni Soviet.
Fika mengatakan, saat ini jika muncul rencana dibuat pusat studi khusus tentang Cina dalam badan CIA, menunjukkan eskalasi keseriusan AS menghadapi ancaman Cina. Hal ini tercermin dari pernyataan Direktur CIA William Joseph Burns yang menyebut “kepemimpinan musuh dan predator” Cina sebagai ancaman terbesar bagi AS. Direktur CIA tersebut juga mengatakan tujuan Beijing adalah untuk menggantikan Amerika Serikat sebagai negara paling kuat dan berpengaruh di dunia.
Fika memandang, bahwa sudah bisa dipastikan hubungan AS dan Cina dipenuhi ketegangan terutama di abad ke-21, saat Cina muncul sebagai raksasa ekonomi baru yang mengancam banyak kepentingan AS. Sementara AS sangat khawatir kehilangan pengaruhnya yang semakin memudar dan digantikan Cina.
Meski demikian, beber Fika, ketegangan ini belum menyentuh ketegangan ideologis karena keduanya sama-sama menganut ekonomi kapitalistik. Sebenarnya dinamika ketegangan AS dan Cina ini berawal dari perang dagang, isu Xinjiang, terus berlanjut menjadi perang teknologi, dan sekarang berhadap-hadapan secara militer di kawasan terpanas yakni Laut Cina Selatan.
Fika menjelaskan, ketegangan AS dan Cina ini bagi Timur Jauh khususnya, dan bagi dunia pengaruhnya sangat signifikan. Sebab medan utama kontestasi Cina berada di Timur Jauh, yakni Laut Cina Selatan. Selain itu Cina juga melakukan manuver Belt and Road Initiative (BRI) kepada negara-negara Asia Tenggara yang ditandingi AS dengan Inisiatif Indo-Pacific.
“Kedua negara ini terus berlomba menanamkan sphere of influence terutama dalam aspek ekonomi dan perjanjian militer,” ungkap Fika.
Peran Negeri Muslim
Fika menilai, peran negeri-negeri Muslim, misalnya Indonesia seharusnya tidak berpihak ke Barat maupun Timur, tidak merapat ke Cina apalagi mendekat ke AS.
Menurutnya, bulan Muharam ini seharusnya membawa kaum Muslim pada perenungan akan refleksi HIjrah, terkait kenapa kelemahan selalu mengitari negeri Muslim, mengapa kaum Muslim hanya mampu menjadi pembebek dan penonton unjuk kekuatan negara-negara kufar super power di Laut Cina Selatan, yang notabene punya catatan hitam memerangi dan menindas umat Islam.
Fika mengingatkan, negeri Muslim termasuk Indonesia harus menyelesaikan persoalan yang sangat mendasar dahulu, yakni soal menemukan jati diri bangsa sebagai bangsa Muslim, sebelum berbicara pertahanan maritim.
Ia menyebut, untuk menemukan jati diri bangsa sebagai bangsa Muslim, maka kembali pada jati diri Islam dan menerapkan visi politik yang berbasis risalah Islam dalam mengelola kekayaan maritim di Nusantara ini.
“Insya Allah diplomasi pertahanan maritim kita akan semakin punya gigi menghadapi kekuatan super power di Laut Cina Selatan,” pungkas Fika.[] Agung Sumartono