Dimanapun Ada Syariat, di Situ Pasti Ada Maslahat

Oleh: M. Arifin (Tabayyun Center)

Pertimbangan kemaslahatan juga sering menjadi pijakan dalam menentukan hukum. Benarkah aspek kemaslahatan mempunyai tempat dalam penentuan hukum syariat ataukah sebaliknya, syariatlah yang menentukan ada dan tidaknya aspek kemaslahatan tersebut?

Kemaslahatan pada dasarnya adalah diperolehnya manfaat dan terhindarkannya kerusakan (jalb al-manafi’ wa daf’al-mudhirrah). Menentukan suatu perkara itu maslahat atau tidak hanya otoritas syariat semata. Syariatlah yang dapat menentukan hakikat kemaslahatan tersebut. Sebab, kemaslahatan yang dimaksud tentu kemaslahatan bagi manusia dalam kapasitasnya sebagai manusia yang mempunyai kebutuhan jasmaniah dan naluriah. Memang, kemaslahatan adakalanya dapat ditentukan oleh akal maupun syariat. Masalahnya, mana kemaslahatan yang benar-benar sesuai dengan fitrah manusia: yang ditentukan oleh akal atau syariat?

Jika akal dibiarkan menentukan kemaslahatan sendiri, padahal sejatinya akal memiliki kemampuan yang terbatas, pasti ia tidak akan mampu menjangkau hakikatnya, karena akal juga tidak mungkin mampu memahami hakikat manusia. Yang dapat memahami hakikat manusia hanyalah Pencipta manusia, yakni al-Khâliq, Allah SWT.

Memang, manusia dapat saja menentukan suatu perkara itu maslahat atau tidak. Akan tetapi, dia tidak mungkin meenentukannya secara pasti. Padahal, menentukan kemaslahatan berdasarkan asumsi atau klaim hanya akan menyeret manusia ke dalam kehancuran. Sebab, adakalanya manusia mengira suatu perkara mengandung kemaslahatan, tetapi akhirnya terbukti menimbulkan kemadaratan. Demikian juga sebaliknya. Ini dari satu aspek. Sementara itu, dari aspek lainnya, dapat dikatakan bahwa penilaian akal atas aspek kemaslahatan tersebut dapat berubah dari waktu ke waktu dan berbeda antara satu tempat dan tempat lainnya. Artinya, kemaslahatan yang ditentukan oleh akal manusia pastilah bersifat asumtif sekaligus relatif.

Karena itu, akal tidak boleh dibiarkan untuk menentukan aspek kemaslahatan. Syariatlah—yang notabene bersumber dari Zat Yang Mahatahu—yang harus menentukannya. ٍSebab, hanya syariatlah yang mampu menentukan kemaslahatan dan kemadaratan yang hakiki. Karena itu, yang mesti dilakukan akal adalah sekadar mencerap suatu realitas sebagaimana apa adanya, lalu memahami nash syariat mengenai realitas tersebut, baru kemudian menerapkan nash tersebut atas pada realitas yang dimaksud. Jika relevan, di sana pasti ada kemaslahatan atau kemadaratan sebagaimana yang dinyatakan oleh syariat. Akan tetapi, jika tidak relevan, makna yang relevan dengan realitas tersebut harus dicari sehingga kemaslahatan atau kemadaratan yang dinyatakan oleh syariat tersebut dapat diketahui setelah hukum Allah atas realitas tersebut diketahui.

Walhasil, kemaslahatan yang hakiki pada dasarnya adalah kemaslahatan yang ditentukan oleh syariat, bukan yang ditentukan oleh akal yang serba relatif. Dalam hal ini, penting untuk dipahami, bahwa syariat pasti mengandung maslahat. Artinya, di mana ada syariat, di situ pasti ada maslahat. Demikianlah sebagaimana yang dinyatakan oleh kaidah ushul berikut:

[حَيْثُمَا كَانَ الشَّرْعُ فَثَمَّتِ اْلمَصْلَحَةُ]

Dimanapun ada syariat, di situ pasti ada maslahat.

Share artikel ini: