Dialog Muharram: Hijrah, Merajut Ukhuwah, Merangkai Peradaban Islam Kaffah

MediaUmat Tidak berlebihan bila dikatakan peringatan Tahun Baru Hijriah 1447 H bertajuk Dialog Muharram: Hijrah, Merajut Ukhuwah, Merangkai Peradaban Islam Kaffah, Sabtu (28/6/2025) bukan acara biasa, bukan seremonial belaka.

Acara yang menghadirkan tokoh-tokoh nasional dan disaksikan ribuan kaum Muslim dari berbagai daerah di Indonesia secara langsung melalui saluran YouTube One Ummah TV itu membuka cakrawala, memberi pemahaman yang mendasar dan komprehensif tentang esensi hijrah berdasarkan peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah.

Dialog Muharram yang berlangsung hangat dari pagi hingga siang itu menghadirkan sejumlah narasumber terkemuka, yaitu Ulama KH Rokhmat S. Labib; Pakar Sosiologi Hukum Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.; Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Periode 2005-2013 Dr. Abdullah Hehamahua; dan Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY).

Dalam pidatonya, Kiai Labib menerangkan, hasil terpenting dari hijrahnya Rasulullah SAW adalah berdirinya negara.

Ia mengatakan, Rasulullah SAW hijrah dari Makkah ke Madinah bukanlah sebagai pengungsi, melainkan sebagai kepala negara untuk menerapkan Islam secara kaffah. Artinya, hukum-hukum Islam diterapkan secara keseluruhan, tanpa terkecuali, tanpa ada yang ditinggalkan.

“Islam yang membuat mereka hijrah dari Makkah ke Madinah. Rasulullah pun demikian, hijrah dari Makkah ke Madinah untuk apa? Untuk menerapkan Islam,” tuturnya.

Karena itu Kiai Labib menegaskan, esensi hijrah sebenarnya bukan sebatas hijrah (pindah tempat), tetapi menerapkan Islam secara kafah. “Esensi hijrah tadi saya katakan, sebenarnya bukan hijrahnya. Esensi hijrah itu adalah menerapkan Islam secara kaffah,” tegasnya.

Hal itu, menurutnya, terbukti penduduk Madinah kala itu tidak hijrah ke mana-mana karena Islam diterapkan di sana, sementara Makkah dengan segala upayanya menolak penerapan Islam.

“Andai orang Makkah ketika mendapatkan dakwah Rasulullah SAW menerima Islam, menerima Rasulullah sebagai penguasa untuk memimpin mereka dengan menerapkan Islam, Rasulullah SAW tidak perlu hijrah, bahkan negara lain yang perlu hijrah,” imbuhnya.

Lebih lanjut Kiai Labib menerangkan, sesungguhnya Islam diturunkan Allah bukan hanya mengatur kehidupan manusia pribadi, tetapi juga datang dalam bentuk institusi negara.

Hal itu, menurutnya, sudah sangat jelas tampak dalam Al-Qur’an bahwa negara merupakan bagian dari agama (Islam).

Surah al-Anfal, al-Fath, an-Nasr, misalnya, menurutnya nama-nama surah tersebut menunjukkan Islam punya konsep bernegara.

Surah tersebut, imbuhnya, berbicara rampasan perang, artinya Islam juga berbicara perang, militer, industri persenjataan, dan berbagai macam hal tentang negara.

Lebih lanjut Kiai Labib menerangkan, Rasulullah SAW hijrah ke Madinah sebagai kepala negara dapat dipahami dari Baiat Aqabah II yang mengawalinya.

Dalam Baiat Aqabah II, kata Kiai Labib, kaum Muslim berbaiat untuk mendengar dan taat kepada Rasulullah. Artinya, menaati perintah, siap diperintah oleh Rasulullah SAW.

Di samping itu, lanjutnya, setelah di Madinah, beliau SAW memobilisasi tentara kaum Muslim, menyelesaikan perkara, mengangkat panglima perang, mengumumkan damai, mengumumkan perjanjian dengan institusi negara negara lain, dan sebagainya.

“Rasulullah SAW meninggalkan umat Islam bukan hanya meninggalkan Al-Qur’an, bukan hanya meninggalkan hadits bukan hanya meninggalkan ajaran Islam, tetapi juga meninggalkan negara. Ada wilayahnya, ada rakyatnya, ada hukum yang diterapkan. Umat Islam tinggal mewarisi,” ungkapnya.

Negara yang diwariskan Rasulullah SAW tersebut, lanjut Kiai Labib, kemudian dilanjutkan oleh Khulafaurasyiddin, Kekhilafahan Umayyah, Kekhilafahan Abbasiyyah, dan Kekhilafahan Utsmaniyyah.

Hanya saja, imbuhnya, pada tahun 1924, umat Islam tak punya negara karena kekhilafahan yang menaunginya diruntuhkan Barat, wilayahnya dibagi-bagi menjadi lebih dari 50 negara, padahal umat Islam dilarang terpecah menjadi lebih dari satu negara. Kondisi ini menjadi musibah terbesar umat Islam.

Oleh karena itu, Kiai Rokhmat mengatakan, “Hal penting yang harus diperjuangkan umat Islam adalah kembalinya kekuasaan khilafah islamiah yang dengan itu umat Islam akan menjadi umatan wahidah, umatan karimah.”

Ketika Dunia Tanpa Khilafah

Sementara itu, dalam pidatonya Prof. Suteki memapatkan mengenai adanya ketidakadilan dunia internasional hingga melahirkan kaos. “Ketidakadilan selalu melahirkan (yang) namanya kaos,” ujarnya.

Ia menceritakan kaosnya dunia setelah runtuhnya Kekhalifahan Utsmani tahun 1924 sampai Perang Dunia II.

Ia menilai, sekalipun pada akhirnya PBB dibentuk (1945) agar tragedi Perang Dunia II yang menewaskan sekitar 85 juta orang tidak kembali terjadi, namun dapat disaksikan PBB tidak mampu mewujudkan perdamaian dan keamanan dunia.

“Karena di sini salah satunya PBB tidak mampu berbuat banyak karena anggota-anggotanya saling tersandera oleh kepentingan-kepentingan, terutama terkait dengan dewan keamanan,” ungkapnya.

Namun demikian Prof. Suteki optimis akan adanya perubahan signifikan dalam tata dunia ketika umat Islam bersatu dengan menerapkan hukum Islam secara kaffah.

Bahkan menurutnya, seorang rahib Yahudi bernama Haim Sofer pun berharap khilafah Islam kembali karena kekagumannya pada Kekhilafahan Utsmani yang memberikan keadilan dan perlindungan bagi Muslim dan non-Muslim.

“Sangat mungkin (hukum Islam diterapkan kembali) dan bahkan sudah terbukti di sini non-Muslim, Yahudi, Nasrani, itu bisa menerima Islam secara kaffah,” kata Prof. Suteki.

Sementara itu, kondisi yang tidak kalah memprihatinkan ketika negara tidak menerapkan Islam juga dapat disaksikan terjadi di tanah air. Dalam pidatonya, Abdullah mengungkap Indonesia menduduki negara terkorup kedua di dunia di masa kepemimpinan Jokowi. Padahal, ia juga menyebut, lembaga dunia mengategorikan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).

Di antara berbagai motifnya, terang Abdullah, korupsi bisa terjadi karena serakah (corruption by greedy). Sukarnya memberantas korupsi hari ini di samping karena sanksi yang kurang tegas, juga kerap sulit dibuktikan. “Saat ini, makanya banyak yang sangat berani menantang. Mereka korupsi karena serakah, dan hukum untuk membuktikannya sukar,” ucapnya.

Ia menegaskan, hanya Islam yang mampu menjawab tantangan ini. “Hal ini sulit diberantas selama tidak ada sistem yang mampu memberikan sanksi tegas. Hanya Islamlah yang mampu menjawab tantangan ini,” tegasnya.

Inspirasi Hijrah

Mendapatkan kesempatan terakhir berpidato, UIY memaparkan sejumlah inspirasi relevan yang bisa diambil dari hijrah Rasulullah SAW. Pertama, keberanian mengambil keputusan besar demi masa depan yang lebih baik dalam naungan ridha Allah SWT.

Kedua, perencanaan dan strategi yang matang. Menurutnya, hijrah bukan pelarian mendadak. Nabi menyusun rencana yang detail, memilih rute yang tak biasa, hingga bekerja sama dengan non-Muslim.

“Dari sana kita mendapatkan pelajaran bahwa perubahan dalam hidup apalagi hidup bersama, perubahan besar dunia, harus disiapkan dengan strategi da kerja sama yang matang,” ungkapnya.

Ketiga, menjaga optimisme dan keyakinan. Kata UIY, meski dalam tekanan yang besar, Nabi tetap yakin akan pertolongan Allah SWT.

“Yakinlah, dalam masa sulit apalagi dalam menggerakkan perubahan besar, yakinlah bahwa Allah SWT, Dzat Pemilik alam semesta tak pernah meninggalkan kita yang setia di jalan-Nya,” imbuhnya.

Keempat, membangun masyarakat plural yang inklusif, terbukti sesampainya di Madinah, Nabi tidak hanya membangun masjid, tapi juga menyatukan Muhajirin dan Anshar, serta menjalin kesepakatan damai dengan non-Muslim.

“Dari sana kita mendapatkan pelajaran bahwa hijrah bukan hanya soal diri sendiri tapi bagaimana membangun masyarakat yang adil damai dan sejahtera. Dan itu hanya mungkin dalam naungan Islam yang kaffah,” tutur UIY.

Kelima, transformasi diri dan lingkungan. “Hijrah tak hanya tentang perbaikan kualitas diri tetapi juga tentang perubahan pola dan tatanan hidup dari yang buruk menuju yang lebih baik,” imbuhnya.

Lebih lanjut UIY mengatakan, hijrah Rasulullah SAW bukan hanya perjalanan fisik, tapi sebuah transformasi besar dalam kehidupan umat Islam yang menjadi tonggak penting tegaknya peradaban Islam.

UIY juga menerangkan, bahwa hijrah Rasulullah juga menunjukkan bahwa perubahan hakiki dan persatuan umat tidak cukup dengan keshalihan pribadi, tapi membutuhkan institusi pelindung umat yang menegakkan syariat secara keseluruhan.

“Dalam konteks hari ini, hijrah berarti menginspirasi kita untuk kembali memperjuangkan persatuan umat di bawah satu kepemimpinan global yaitu al-khilafah,” kata UIY.

Sebab hanya dengan institusi ini, UIY menilai, umat Islam akan bisa keluar dari cengkeraman sekat-sekat nasionalisme yang diciptakan secara imajiner oleh penjajah.

Karena itu, UIY menyeru untuk meninggalkan sistem jahiliah. “Mari jadikan hijrah ini bukan sekadar ritual historis tapi jadi seruan nyata untuk meninggalkan sistem jahiliah, sistem buatan manusia dan berhijrah menuju tatanan Islam yang mempersatukan melindungi dan mengangkat derajat umat,” ungkapnya.

Pidato masing-masing pembicara memantik diskusi hangat. Para tokoh peserta Dialog Muharram antusias memberikan pertanyaan dan pendapatnya. Bahkan beberapa kali pekikan takbir bergema di ruangan, membakar semangat dan optimisme perubahan yang lebih baik dengan Islam kaffah.[] Saptaningtyas

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: