Di Balik Data Kemiskinan Berbeda, Tersirat Kegagalan Kapitalisme Sejahterakan Rakyat

 Di Balik Data Kemiskinan Berbeda, Tersirat Kegagalan Kapitalisme Sejahterakan Rakyat

MediaUmat Di balik selisih metode dan hitungan angka kemiskinan rakyat Indonesia versi Bank Dunia dengan versi Badan Pusat Statistik (BPS), menurut Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra tersirat persoalan struktural yang lebih mendalam yakni kegagalan sistem ekonomi kapitalisme dalam menjamin kesejahteraan rakyat.

“Namun di balik selisih metode dan hitungan, tersirat persoalan struktural yang lebih mendalam: kegagalan sistem ekonomi kapitalisme dalam menjamin kesejahteraan rakyat,” ujarnya kepada media-umat.com, Senin (16/6/2025).

Dengan kata lain, jelas Ahmad, polemik ini tidak bisa dilihat sekadar dari perbedaan metodologi.

“Masalah kemiskinan ini adalah buah dari penerapan sistem kapitalisme sekuler yang tidak adil dan meminggirkan rakyat. Angka boleh berbeda, tapi kenyataannya kemiskinan struktural tetap nyata dan membelit mayoritas rakyat,” tegasnya.

Pasalnya, jelas Ahmad, dalam sistem kapitalisme, kekayaan terkonsentrasi pada segelintir elite dan korporasi. Sementara negara hanya berperan sebagai fasilitator pasar. Sumber daya alam dikelola untuk keuntungan segelintir, bukan untuk kesejahteraan rakyat.

Padahal, kata Ahmad, Islam telah menawarkan solusi menyeluruh untuk pengentasan kemiskinan, bukan hanya melalui bantuan individu seperti zakat, tetapi juga melalui sistem ekonomi yang adil dan berbasis kepemilikan umum.

“Islam mewajibkan negara menjamin pemenuhan kebutuhan dasar setiap warga, serta mengelola sumber daya alam sebagai milik umum. Inilah yang absen dalam sistem hari ini,” lanjutnya.

Berdasarkan data BPS, garis kemiskinan nasional per kapita per September 2024 tercatat Rp595.242 per bulan. Rata-rata rumah tangga miskin terdiri dari 4,71 anggota, sehingga garis kemiskinan rumah tangga secara nasional sekitar Rp2.803.590. Di DKI Jakarta bahkan mencapai Rp4.238.886.

Ahmad Sastra menilai bahwa angka-angka tersebut tetap tidak mampu menyentuh akar persoalan kemiskinan.

“Masalahnya bukan hanya berapa rupiah pengeluaran minimum, tapi bagaimana sistem ini gagal menjamin hak hidup rakyat. Islam kaffah menawarkan solusi dari hulu ke hilir: mulai dari sistem kepemilikan, distribusi kekayaan, hingga peran negara dalam menjamin kebutuhan rakyat,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa selama negeri ini masih tunduk pada sistem kapitalisme global dan instrumen-instrumennya seperti Bank Dunia dan IMF, maka kemiskinan hanya akan dikelola, bukan diselesaikan.

“Solusi hakiki hanya bisa terwujud jika negeri ini berani melakukan transformasi ideologis: meninggalkan sistem kapitalisme dan menerapkan Islam secara kaffah dalam kehidupan bernegara,” tegasnya.

Sebelumnya, polemik perbedaan tajam angka kemiskinan versi Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS) mengundang perhatian publik.

Bank Dunia dalam laporan Macro Poverty Outlook awal April 2025 menyebut bahwa 60,3 persen penduduk Indonesia atau sekitar 171,8 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan berdasarkan standar global US$6,85 PPP per kapita per hari. Di sisi lain, BPS mencatat bahwa tingkat kemiskinan Indonesia per September 2024 hanya 8,57 persen atau 24,06 juta jiwa, berdasarkan pengeluaran kebutuhan dasar masyarakat Indonesia.

BPS menekankan bahwa perbedaan itu disebabkan perbedaan pendekatan. Bank Dunia menggunakan standar garis kemiskinan internasional untuk membandingkan antarnegara, sedangkan BPS menggunakan pendekatan Cost of Basic Needs (CBN) berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang disesuaikan dengan kondisi lokal.[] Fatih Sholahuddin

 

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *