Saat ini, sistem demokrasi disajikan sebagai puncak pencapaian pikiran manusia dalam mengatur urusan pemerintahan, hingga menjadi dogma yang hampir tak tersentuh, seolah-olah ia adalah timbangan, bukan sesuatu yang ditimbang. Namun, sedikit refleksi mengungkapkan bahwa demokrasi bukan hanya sebuah gagasan yang kontradiktif, melainkan juga sebuah sistem yang bertentangan dengan fitrah manusia dan pada akhirnya mengarah pada kekacauan dan kemunduran, bukan membawa pada kebebasan dan kemajuan.
Sejak awal mula teoretisnya, demokrasi bertumpu pada slogan gemilang “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” tetapi definisi ideal ini dengan cepat runtuh dan tumbang menghadapi kenyataan. Jutaan orang tidak bisa begitu saja berkumpul untuk membuat undang-undang sendiri, sehingga solusinya adalah memilih “perwakilan” untuk membuat undang-undang atas nama mereka. Sehingga dengan pergeseran praktis ini, kekuasaan rakyat telah bertransformasi menjadi kekuasaan minoritas kecil yang mengendalikan nasib mayoritas di bawah panji “perwakilan rakyat”. Dengan demikian, demokrasi, yang secara teoretis berawal dari kedaulatan rakyat, akhirnya dikendalikan oleh segelintir elit politik, orang kaya, dan media. Legitimasi kotak suara menggantikan legitimasi pedang, dan tiran-tiran terpilih menggantikan tiran-tiran lama. Ini adalah tipu muslihat linguistik yang elegan, yang pada intinya menyembunyikan bentuk despotisme baru yang dijalankan atas nama rakyat, bukan melawan mereka.
Namun, kontradiksinya tidak berhenti pada struktur politik, melainkan meluas hingga asal usul gagasan itu sendiri: siapa yang berhak membuat undang-undang? Demokrasi menjadikan manusia sebagai otoritas tertinggi yang menetapkan hukum untuk dirinya sendiri, sehingga undang-undang menjadi cerminan keinginan dan kepentingan rakyat yang terus berubah. Sejarah membuktikan bahwa apa yang dianggap hak di satu masyarakat bisa jadi dianggap kejahatan di masyarakat lain, dan apa yang dianggap kebebasan hari ini bisa jadi dikecam esok hari sebagai penyimpangan atau kebencian. Standar itu fleksibel, dan kriterianya pun bergantung pada keinginan dan keadaan. Bagaimana mungkin makhluk yang berubah-ubah dan kontradiktif menjadi otoritas tertinggi atas stabilitas?! Dan bagaimana mungkin seseorang yang tidak berintegritas dalam dirinya sendiri menetapkan aturan integritas bagi umat manusia?! Gagasan “kedaulatan adalah milik rakyat” mengabaikan fakta bahwa rakyat bukanlah entitas tunggal yang kohesif, melainkan kumpulan kecenderungan dan kepentingan yang saling bertentangan. Ketika keputusan diambil dengan suara mayoritas, bukan berarti keputusan tersebut benar, melainkan hanya karena suara terbanyak yang diperoleh. Dengan demikian, kedaulatan bertransformasi dari aturan akal menjadi aturan angka.
Dengan kacaunya asas kedaulatan ini, timbullah krisis kebebasan yang selama ini dijunjung tinggi oleh demokrasi dengan menjunjung tinggi slogan “kebebasan” dalam berkeyakinan, berpendapat, kepemilikan, dan berperilaku. Namun, ketika kebebasan dipisahkan dari batasan moral, maka ia akan berubah menjadi kekacauan, dan ketika ia disucikan tanpa tanggung jawab, maka ia akan membebaskan naluri, bukan kemanusiaan. Demokrasi telah melepaskan hasrat manusia atas nama kebebasan, sehingga manusia menjadi budak hawa nafsunya, mendambakan kesenangannya seperti binatang yang mendambakan makanan dan hasratnya, tanpa tujuan yang lebih tinggi atau tujuan maknawi (rohani atau batiniah). Atas nama kebebasan, segalanya menjadi halal: penolakan atas naluri alami (fitrah), distorsi keluarga, dan pengudusan penyimpangan sebagai pilihan pribadi. Dengan demikian, demokrasi tidak membebaskan manusia dari belenggu dan ikatan, melainkan membebaskan naluri-nalurinya dan nafsu buruknya yang rendah, serta melepaskan sifat buas yang ada di dalam dirinya.
Dengan hilangnya kendali, makna pun hilang. Setiap sistem buatan manusia membutuhkan tujuan untuk diperjuangkan dan standar untuk menimbang baik dan buruk, tetapi demokrasi, dengan menjadikan manusia sebagai referensinya sendiri, telah menghilangkan referensi apa pun yang melampaui kepentingan dirinya. Apa yang disukainya dan yang memuaskan hawa nafsunya menjadi baik, dan apa yang mengganggunya menjadi jahat. Dengan demikian, nilai-nilai luhur pun merosot dan naluri-naluri yang baik pun lenyap. Maka lahirlah manusia yang hidup tanpa kompas atau titik acuan transenden, tersesat dalam absurditas hasrat dan kontradiksi pikirannya, terkepung kekosongan spiritual, depresi, dan ketidakbermaknaan. Sistem yang menjanjikan kebebasan dan martabat telah merampas tujuan dan kedamaian.
Pada intinya, demokrasi berasumsi bahwa manusia memiliki pikiran yang seimbang yang mampu mengelola dirinya sendiri dan masyarakatnya dengan keadilan dan kebijaksanaan, tetapi pengalaman manusia membuktikan sebaliknya. Manusia adalah makhluk yang terbatas, dipengaruhi oleh kepentingan, ketakutan, dan keinginannya. Jika ia diberi kekuasaan untuk membuat undang-undang tanpa otoritas yang lebih tinggi dari keinginannya, ia akan merusak segala sesuatu di sekitarnya. Oleh karena itu, krisis demokrasi tidak hanya terletak pada pengucilannya terhadap agama, tetapi juga pada kesalahpahamannya terhadap hakikat manusia itu sendiri. Manusia bukanlah Tuhan yunior yang menciptakan hukum, juga bukan mesin mental murni yang menjalankan dunia dengan rasionalitas yang dingin. Sebaliknya, manusia adalah makhluk yang membawa dalam dirinya kecenderungan menuju kebaikan dan kejahatan, menuju keagungan dan kehinaan, sehingga manusia membutuhkan referensi untuk mengendalikan dan membimbingnya. Adapun demokrasi, maka dengan atas nama kebebasan dan kedaulatan, ia menghancurkan setiap kendala yang mencegah kejatuhannya, membiarkan manusia menghadapi dirinya sendiri tanpa bimbingan atau timbangan perbuatan.
Demokrasi lahir dari ilusi luhur bahwa manusia mampu memerintah dirinya sendiri, tetapi berakhir dalam kenyataan pahit yang membuktikan bahwa ketika manusia memerintah dirinya sendiri, maka ia justru menghancurkan dirinya sendiri. Demokrasi adalah sistem yang bertentangan dengan kodrat manusia, dengan keterbatasan intelektual manusia, juga dengan kebutuhan fitrah akan stabilitas dan rohaninya. Sungguh, demokrasi ini adalah gagasan yang indah di permukaan, tetapi mustahil diterapkan dalam realitas hidup manusia. Alih-alih mengangkat manusia ke posisi bermartabat, demokrasi justru merendahkannya ke level binatang, sehingga manusia hidup tanpa prinsip, batasan, atau tujuan. Oleh karena itu, demokrasi, pada hakikatnya, adalah sistem yang melawan manusia, meskipun slogannya indah dan menarik.
Manusia tidak memerlukan sistem yang menuruti keinginannya, melainkan sistem yang memperhatikan keinginannya, mengontrol nalurinya, dan mengangkat kemanusiaannya dari tataran mengikuti naluri ke tataran yang membawa pada kehormatan. Manusia membutuhkan pendekatan komprehensif yang membimbing hidupnya dalam segala aspeknya, dalam pikiran dan perilaku, secara individu maupun kolektif, di dunia maupun akhirat. Sistem yang seperti ini hanya berasal dari Zat Yang Maha Sempurna yang terbebas dari kekurangan, ketidakmampuan, kebutuhan, dan kebodohan; Dia adalah Allah Sang Pencipta yang menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan.
﴿أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ﴾
“Apakah (pantas) Zat yang menciptakan itu tidak mengetahui, sedangkan Dia (juga) Mahahalus lagi Maha Mengetahui?” (TQS. Al-Mulk [67] : 14).
Ketika seseorang memiliki pemahaman yang benar tentang dirinya sendiri, alam semesta yang ditinggalinya, serta hubungan antara dirinya dengan sebelum kehidupan dan sesudahnya, maka ia telah mengambil langkah pertama menuju kebangkitan manusia yang sejati. Kebangkitan ini tidak dimulai dengan ekonomi, industri, atau kekayaan, melainkan dengan gagasan yang menetapkan makna keberadaan dan tujuan hidup.
Oleh karena itu, akidah spiritual (ruhiyah) dan politik diperlukan untuk membentuk landasan yang kokoh bagi kebangkitan sejati, yang memadukan keimanan mendalam dengan pemikiran praktis, serta menghubungkan dunia ini dengan akhirat, tidak memisahkan keduanya. Itulah akidah Islam, yaitu akidah yang muncul dari ideologi Islam, yang menggabungkan antara akidah yang membimbing dengan sistem yang mengatur. Sungguh, akidah Islam adalah ideologi yang benar-benar akan membangkitkan manusia, bukan sekadar khayalan dan ilusi. [] Dr. Asyraf Abu Aththaya
Sumber: alraiah.net, 5/11/2025.
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat