Demokrasi Semacam Mitos yang Janjikan Banyak Hal

Mediaumat.id – Cendekiawan Muslim Ustadz Eri Taufik menyatakan demokrasi itu semacam mitos yang menjanjikan banyak hal. “Demokrasi itu kan, dia semacam mitos yang menjanjikan banyak hal,” ujarnya dalam Ngabuburit: Khilafah vs Demokrasi, Kamis (30/3/2023) di kanal YouTube Rayah TV.

Sebutlah istilah kedaulatan di tangan rakyat yang secara faktual tidak pernah terjadi. “Kan tidak pernah terjadi kedaulatan di tangan rakyat itu,” sambung Eri.

Sebab pada akhirnya, penentu hukum tidaklah di tangan rakyat pada umumnya, namun para elite politik. “Tetap elite-elite politik yang kalau sekarang sih berkolaborasi dengan para pemilik modal menentukan segala-galanya di tengah masyarakat,” jelasnya.

Artinya, penentu bentuk peraturan atau undang-undang yang bakal diterapkan di tengah masyarakat berada di tangan para elite politik. Sehingga sekali lagi Eri menegaskan, kedaulatan di tangan rakyat dalam sistem demokrasi tidaklah pernah benar-benar terjadi.

Bahkan, jelas Eri, alih-alih kesejahteraan yang dijanjikan di dalam demokrasi misalnya, justru masih banyak penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Untuk diketahui, berdasarkan purchasing power parities (PPP) 2017, Bank Dunia telah menetapkan garis kemiskinan ekstrem yaitu orang yang berpenghasilan USD2,15 atau sekitar Rp32.250 per orang per hari (asumsi nilai tukar Rp15.000 per USD).

Tak ayal, Eri pun menyebut lebih dari 50 persen penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan dimaksud. “Dunia hari ini kolaps, kekayaan itu hanya terpusat pada segelintir orang saja. Sementara kalau kita bicara tentang kemiskinan, besar sekali angka kemiskinan itu,” ucapnya.

Dengan kata lain, menurutnya, sekitar 10 persen saja penduduk dunia yang benar-benar menguasai sektor ekonomi. Sedangkan 90 persennya masih berada di bawah garis kemiskinan.

“Dari sisi mana demokrasi itu dikatakan berhasil? Sebenarnya tidak pernah berhasil kalau kita lihat,” ujarnya.

Demikian dikarenakan landasan demokrasi yang memang sekularisme yang berarti paham memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga, beber Eri, dalam kehidupan publik agama cenderung diminimalisir.

Lebih jauh tidak ada batasan halal haram di dalamnya. Semisal perilaku zina, LGBT, riba hingga aspek kepemilikan harta termasuk kekayaan alam yang memiliki subjektivitas karena berdasar suka atau tidak.

“Karena kalau like or dislike (suka atau tidak suka) subyektif banget kan? Tergantung tempat, tergantung kondisi, tergantung keinginan publik, dsb., Aneh kan demokrasi?” tukasnya.

Pilih Khilafah

Secara intelektual, seseorang harusnya melakukan komparasi berkenaan dengan bermacam sistem kehidupan. “Sistem demokrasi seperti ini, diktator proletariat seperti ini, sistem kerajaan seperti ini, keemiran seperti ini. Saya milihnya khilafah dong,” paparnya.

Pasalnya, setelah mempelajari semua sistem tersebut, sistem khilafahlah yang menurutnya paling layak bagi manusia.

Dilihat dari sumbernya, yakni wahyu yang datang dari Allah SWT kepada Rasulullah SAW, tentu lebih layak lagi daripada demokrasi yang lahir dari pemikiran filsuf Prancis berikut kesimpulan agama harus disingkirkan dari kehidupan publik, atau lebih jauh tata kelola pemerintahan yang disterilkan dari ketentuan agama.

“(Khilafah) ini ajaran Islam. Terbukti bahwa dilanjutkan pasca Rasulullah oleh para khalifah, Khulafaur Rasyidin, Umayyah, Abbasiyah, Utsmaniyah,” terangnya, yang berarti pula khilafah murni ajaran Islam.

“Masa sih sesuatu yang datang dari Allah itu bisa disaingi oleh manusia,” ucapnya, bernada menawarkan sistem alternatif pengganti demokrasi buatan filsuf Montesquieu yang dikenal juga dengan teori pemisahan kekuasaan dari pengaruh gereja kala itu.

Apalagi asas khilafah adalah akidah dan syariat Islam yang tidak pernah bisa keluar dari keduanya. “Saya pikir kalau kita bicara sebagai Muslim, selesai diskusinya itu,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: