Demo Besar Iran Bela Wanita Tak Berjilbab Jadi Momentum Pihak Kontra Rezim Iran

Mediaumat.id – Kematian Mahsa Amini, perempuan muda yang ditangkap polisi karena disebut memakai jilbab secara tidak pantas yang memicu demo besar-besaran di Iran, dinilai Pengamat Hubungan Internasional Budi Mulyana menjadi momentum bagi kalangan yang tidak setuju dengan rezim Iran yang konservatif.
“Peristiwa ini adalah belli case yang menjadi momentum bagi kalangan yang tidak setuju dengan konservatifnya pemerintahan Iran, terutama penerapan aturan pengetatan pakaian bagi wanita dan dengan alasan hak asasi dan kesesuaian nilai-nilai Barat yang dianggap universal,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Kamis (29/9/2022).
Menurutnya, momentum ini menjadi alat untuk melemahkan posisi pemerintahan Iran yang sedang berkuasa.
Peristiwa ini, kata Budi, dipicu oleh meninggalnya Mahsa Amini, wanita Kurdistan Iran yang diduga mengalami penganiayaan akibat pelanggarannya tidak mengenakan jilbab sesuai ketentuan pemerintah Iran versi Gasht e Ershad, polisi moral Iran. “Polisi menyatakan kematian Amini akibat serangan jantung, namun dugaan kuat akibat penganiayaan,” ujarnya.
Menurutnya, peristiwa ini memicu demo besar-besaran mengutuk tindakan kepolisian tersebut, dan meluas menentang kebijakan pemerintahan Iran yang konservatif.
“Semakin menginternasionalisasi ketika media dan politisi Barat turut mengecam apa yang dilakukan Iran terhadap Amani,” katanya.
Budi mengatakan, Barat menganut nilai-nilai yang bermuara pada prinsip sekularisme. Memisahkan agama dalam kehidupan. Sedangkan Islam mengatur manusia sesuai dengan tuntunan ilahi. “Barat berkepentingan untuk menyebarluaskan nilai-nilainya tersebut. Dan benturan pastinya akan terjadi, karena kedua nilai tersebut bertentangan secara diametral,” ungkapnya.
Maka, ketika ada momentum yang tepat untuk mengeksploitasi keburukan penerapan nilai-nilai Islam, kata Budi, sebagaimana yang terjadi di Iran ini, naka sudah dapat dipastikan Barat akan masuk dan memanfaatkannya untuk membangun opini buruk tentang nilai-nilai tersebut. “Terlepas bahwa mungkin memang ada kesalahan dari aspek perlakuan polisi terhadap Amini,” ucapnya.
“Dan tudingan terhadap adanya Barat di balik aksi-aksi demonstrasi di Iran, kerap disampaikan oleh Pemerintah Iran. Menunjukkan adanya indikasi tersebut. Termasuk juga pemadaman jaringan komunikasi dan internet, demi tidak meluasnya sebaran aksi yang terjadi di Iran, adalah upaya untuk meredam pengaruh opini yang dikembangkan di tengah-tengah masyarakat Iran,” imbuhnya.
Namun, bila ini dikaitkan dengan aksi jilbab, menurut Budi, sebenarnya ini bukan yang pertama. “Sebelumnya, Mei 2022 dikaitkan dengan peristiwa runtuhnya bangunan 10 lantai di Abadan Iran, yang menyebabkan tewasnya 37 orang. Tudingan korupsi dan anti pemerintah kemudian meluas, namun kuatnya pemerintahan Iran dapat meredakan itu semua,” tandasnya.
Sejarah Perlawanan Jilbab
Budi mengungkap, munculnya perlawanan terhadap kewajiban jilbab di Iran ini setelah masa kekhilafahan Islam, dan mulainya penjajahan Inggris di kawasan Persia ini, maka internalisasi nilai-nilai Barat pada masyarakat Muslim Iran terus berlangsung. “Bahkan Pada 1936, pemimpin Iran saat itu yang pro-Barat, Reza Shah, melarang pemakaian cadar dan jilbab sebagai upaya memodernisasi negara,” ungkapnya.
Namun demikian, lanjutnya, dengan tuntunan para ulama Iran, maka banyak perempuan melawan kebijakan tersebut dan berusaha kukuh dengan aturan Islam yang diyakininya.
“Pasca Reza Shah digulingkan. Rezim Khomeini lalu mengambil alih. Penguasa baru itu menerapkan wajib jilbab pada 1979. Namun, aturan itu baru disahkan sebagai undang-undang pada 1983. Pemerintah kemudian membentuk gugus tugas untuk menegakkan peraturan yakni polisi moralitas. Tugas mereka untuk memastikan bahwa aturan dipatuhi.
Belakangan, Polisi Moralitas Iran di bawah komando Mohammad Rostami Chemtech Gachi semakin menunjukkan kekerasan dan kekuatan berlebihan. Pada awal 2022, Rostami menyatakan pihaknya akan menghukum perempuan Iran yang menolak mengenakan jilbab. Polisi moral berpatroli di jalan-jalan dengan mandat memasuki area publik untuk memeriksa penerapan hukum jilbab dan persyaratan Islam lain,” bebernya.
Budi mengatakan, perlawanan terjadi akibat dua hal, sebaran edukasi terkait dengan nilai-nilai Islam yang masih belum dapat membangun kesadaran masyarakat Iran terhadap aturan Islam. “Dan kedua, masifnya upaya Barat untuk mengembalikan Iran dalam posisi seperti pada masa Reza Shah yang pro Barat dan nilai-nilai Barat,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it