Demo Besar-besaran, Akumulasi Kekecewaan Publik pada Kekuasaan

 Demo Besar-besaran, Akumulasi Kekecewaan Publik pada Kekuasaan

MediaUmat Akademisi Ubedillah Badrun menilai peristiwa demonstrasi besar-besaran terjadi karena akumulasi kekecewaan publik terhadap praktik kekuasaan.

“Kemarin terjadi (demonstrasi) itu akumulasi dari kemuakan, kekecewaan dan kemarahan publik terhadap praktik kekuasaan,” ujarnya dalam siniar Ubed Buka Penyebab Amuk Massa. Kapolri Harus Diberhentikan. Tragedi Demonstran di DPR, Rabu (3/9/2025) di kanal YouTube Abraham Samad Speak Up.

Seperti di tahun 2019, jelas Ubedillah, ada gerakan reformasi dikorupsi, secara tiba-tiba DPR mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja 2020, sampai mengubah Undang-Undang Pilkada dan seterusnya. Ditambah muncul agenda gerakan Indonesia Darurat, Indonesia Gelap dan seterusnya.

“Tapi aspirasi murni dari mahasiswa dan kaum cendekiawan itu tidak didengar juga oleh politisi. Tidak pernah direspons kan? Tidak didengar, diabaikan begitu ya kan?” tegasnya.

Padahal, bebernya, yang disampaikan oleh mahasiswa dan banyak sekali kelompok cendekiawan itu rasional, argumentatif, based on data, basis hukum, konstitusi dan lain-lain.

“Nah, situasi yang sedemikian terpendam itu lalu muncul ada rencana menaikkan tunjangan anggota DPR. Lalu mereka mempertontonkan perilaku yang tidak patut ya joget-joget dan lain-lain begitu. Di tengah rencana menaikkan anggaran tunjangan itu bagi publik dan mahasiswa ini aneh gitu,” lanjutnya.

Karena, bebernya, di tengah masyarakat yang sedang susah, kelaparan, bahkan ada yang meninggal, bunuh diri dan lain-lain, para anggota dewan malah mempertontonkan joget-jogetnya.

“Nah, ketika mahasiswa mengkritik sebenarnya mahasiswa demo tanggal 21 Agustus, itu mahasiswa tuh full tuh banyak. Kemudian ternyata respons DPR seburuk itu. Misalnya, saya sebenarnya enggak mau ngucapin diksi yang kotor begitu, ya apa boleh buat kan ada anggota DPR yang bilang, yang mengkritik DPR untuk membubarkan DPR itu tolol, gitu kan si Sahroni ya,” tuturnya.

Jadi, bebernya, respons anggota dewan kepada publik yang tidak tepat, membuat marah masyarakat, termasuk juga anggota DPR yang tidak empati dengan aspirasi publik itu kemudian memunculkan gerakan tanggal 25.

“Itu mahasiswa bersama masyarakat tuh. Lalu sorenya datang anak STM itu. Nah, tanggal 25 kan juga malamnya lumayan keras ya. Terjadi situasi yang luar biasa, mahasiswa yang ikut terlibat di aksi tanggal 25 Agustus,” bebernya.

Miskin Etik

Ubed menilai, elite politik di Indonesia ini miskin etik dan perlu belajar pada Jepang.

“Jepang tuh seperti manusia etik ya. Kalau dia bersalah dia mundur, bersalah sedikit saja itu langsung mundur,” tuturnya.

Jadi, lanjutnya, harusnya itu dilakukan oleh Kapolri, mundur tidal perlu diminta mundur atau diberhentikan oleh Presiden.

“Kalau dia punya etik yang kuat, dia menyatakan mundur dari jabatannya. Termasuk Kapolda dan lain-lain, elite kepolisian yang bertanggung jawab terhadap pengamanan. Saya kira itu yang memungkinkan akan meredakan situasi,” pungkasnya.[] Setiyawan Dwi

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *