Deklarasi New York Pengkhianatan Pada Syuhada Palestina

MediaUmat – Deklarasi New York soal upaya mewujudkan pembentukan negara Palestina melalui solusi dua negara (two state solution) yang diteken sebanyak 17 negara, yakni seluruh anggota negara Liga Arab, dan seluruh anggota Uni Eropa dinilai Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS) Farid Wadjdi bukan sebuah kemenangan diplomasi, tapi pengkhianatan terhadap darah syuhada dan penderitaan rakyat Gaza.
“Deklarasi ini bukan kemenangan diplomasi, tapi pengkhianatan terhadap darah syuhada dan penderitaan rakyat Gaza. Solusi yang ditawarkan tidak menyelesaikan akar masalah, justru memperkuat status quo penjajahan Zionis,” ujarnya kepada media-umat, Senin (4/8/2025).
Farid mengingatkan, umat Islam harus menyadari bahwa jalan sejati menuju pembebasan Palestina bukan lewat meja perundingan, tetapi dengan menegakkan kekuatan politik dan militer Islam dalam naungan Khilafah, yang akan menghimpun kekuatan umat dan menghapus eksistensi penjajah Yahudi dari tanah suci Al-Quds.
Sedikitnya ada empat hal yang dikritisi Farid terkait Deklarasi tersebut. Pertama, Solusi dua negara sama dengan melegitimasi penjajahan. Ia melihat, deklarasi ini secara eksplisit mengukuhkan apa yang disebut “solusi dua negara”. Padahal, narasi itu bukanlah jalan keluar, melainkan jalan buntu yang menyesatkan. Sebab umat Muslim harus mengakui eksistensi entitas penjajah Yahudi (Israel) di atas tanah kaum Muslimin yang dirampas sejak 1948. Sedangkan negara Palestina yang dijanjikan hanyalah entitas semu, tanpa kedaulatan, tanpa senjata, dan tanpa kontrol atas udara, perbatasan, atau keamanan.
“Solusi dua negara justru mengabadikan keterpecahan Palestina antara Gaza dan Tepi Barat, serta menggagalkan proyek pembebasan total seluruh Palestina,” ucap Farid.
Kedua, pelucutan senjata Hamas sama dengan membungkam perlawanan terhadap penjajah zionis. Farid memandang, dalam deklarasi tersebut yang juga menyerukan agar senjata perlawanan dilucuti dan diserahkan kepada Otoritas Palestina sama artinya dengan membungkam satu-satunya kekuatan yang menghadang proyek kolonial Zionis, yaitu kelompok perlawanan bersenjata.
Farid menyebut itu adalah kebijakan yang tidak adil dan berpihak. Sebab mengharuskan kelompok pejuang meletakkan senjata dan memberikan otoritas atas Gaza kepada PA, rezim boneka yang telah terbukti menjadi alat Amerika dan Israel dalam menekan perjuangan rakyat Palestina, bahkan membungkam intifadah di Tepi Barat. Sementara entitas Zionis terus dipersenjatai dan didukung militer oleh AS dan Barat.
Ketiga, menyalahkan perlawanan dan melupakan penjajahan. Farid melihat, narasi dominan dalam deklarasi tersebut memposisikan serangan 7 Oktober sebagai sebab utama krisis, padahal akar konflik adalah penjajahan brutal sejak 1948, bukan perlawanan rakyat yang dibombardir, diusir, dan dikepung selama puluhan tahun.
Farid mengatakan, menyalahkan Hamas atas eskalasi kekerasan adalah bentuk inversi moral. Yakni korban dituduh pelaku, sedangkan penjajah dianggap korban. Sehingga dengan narasi itu, perjuangan rakyat Palestina dibingkai sebagai “terorisme”, bukan jihad fi sabilillah melawan penjajah.
Keempat, propaganda citra damai yang membungkus pengkhianatan dengan diplomasi. Farid mengungkapkan, deklarasi itu juga menjadi sarana pencitraan bagi Amerika Serikat yang seolah-olah menjadi penengah damai, padahal sejatinya Amerika adalah pelindung utama penjajah Zionis. Sedangkan rezim-rezim Arab pengkhianat yang justru menormalisasi hubungan dengan Israel, kini tampil seolah menjadi pembela Palestina melalui deklarasikan tersebut.
“Semua ini menipu opini publik dunia Islam agar percaya pada solusi damai palsu, sementara proyek Yahudisasi dan pemukiman terus berjalan,” pungkas Farid. [] Agung Sumartono
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat