Daya Dukung Bumi karena Moralitas Ekologis, Bukan Populasi
MediaUmat – Menanggapi pertanyaan klasik tentang berapa banyak manusia bisa ditampung bumi, Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) menyatakan, daya dukung bumi bukan soal jumlah penduduk melainkan karena moralitas ekologis.
“Ketika kerakusan, pemborosan, dan eksploitasi berlebihan menjadi norma, daya dukung bumi pun runtuh—bukan karena populasi, melainkan karena moralitas ekologis,” ujarnya kepada media-umat.com, Kamis (13/11/2025).
Menurut HILMI, pelajaran penting datang dari eksperimen klasik “Universe 25” oleh Jhon B. Calhoun 1960 pada tikus menjadi peringatan serius bagi umat manusia. Eksperimen itu menunjukkan kemakmuran tanpa tantangan dan nilai justru membawa kehancuran sosial. Fenomena serupa kini terjadi pada masyarakat modern: stres perkotaan, kekerasan, dan krisis makan di tengah kelimpahan sumber daya.
“Banyak orang kemudian menggunakan hasil ini sebagai cermin bagi manusia modern. Meski kita punya teknologi, energi, dan sumber daya, kita tetap menghadapi krisis sosial: stres perkotaan, kekerasan, degradasi moral, dan kehampaan makna,” paparnya.
HILMI juga menyoroti data Global Footprint Network yang menunjukkan manusia kini menggunakan sumber daya setara 1,7 kali kemampuan regeneratif bumi per tahun, artinya manusia sedang memakan masa depan. Ironisnya, 20 persen penduduk dunia yang tinggal di negara kaya menghabiskan lebih dari 80 persen energi dan bahan baku global.
“Seperti dalam eksperimen Calhoun, kehancuran tidak datang dari kekurangan fisik, tetapi dari disfungsi perilaku sosial. Bumi sebenarnya masih bisa mencukupi jika manusia mau hidup dengan kesederhanaan, keadilan distribusi, dan penghargaan pada alam,” paparnya.
Solusi Komprehensif
Dalam pandangan HILMI, Islam menyediakan solusi komprehensif untuk mengatasi ketimpangan ini. Surat Hud ayat 6 menjadi dasar spiritual bahwa rezeki seluruh makhluk telah dijamin, asalkan manusia tidak merusak sistem alam yang menjadi sarana rezeki itu.
“Mengimani qadar (ketentuan Allah) bukan berarti pasrah tanpa ikhtiar, tetapi sadar akan batas: manusia bukan pemilik bumi, melainkan khalifah (pengelola yang bertanggung jawab),” ujarnya.
Islam juga melarang dua prilaku merusak, lanjut HILMI, yaitu isrāf (berlebihan dalam hal yang halal) dan tabdzīr (memboroskan harta dengan cara yang sia-sia atau haram), pondasi ini menjadi etika ekologi Islam, merujuk pada QS. Al-Hasyr ayat 7.
“Dalam konteks modern, isrāf berarti konsumsi energi dan pangan yang melampaui kebutuhan; tabdzīr berarti pemborosan sumber daya untuk hal yang tidak bermanfaat atau bahkan merusak,” jelasnya.
Untuk menjamin keadilan sosial dan kelestarian sumber daya, HILMI menekankan pentingnya penerapan sistem Islam dalam ekonomi dan distribusi kekayaan untuk mengendalikan keseimbangan. Melalui zakat, larangan monopoli, dan mekanisme hisbah (pengawasan pasar), Islam membangun sistem sosial yang menjaga keseimbangan manusia dan alam.
“Semua ini adalah mekanisme sosial untuk mengembalikan keseimbangan distribusi, yang pada gilirannya menjaga daya dukung bumi,” pungkasnya.[] Lukman Indra Bayu
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat