Dari Penindasan ke Fashion: Bagaimana Kita Kehilangan Makna Sejati dari Hijab

Di banyak bagian dunia, hijab telah menempuh perjalanan panjang — dari yang dulu dipandang sebagai simbol penindasan, hingga kini dirayakan sebagai tren mode. Namun, dalam upaya membela hijab dari stigma dan mengembalikan kehormatannya, banyak Muslim tanpa sadar telah mengaburkan hakikat Islam yang sejatinya terkandung di dalamnya.

Tulisan ini menelusuri perubahan pandangan terhadap hijab — dari penolakan hingga komodifikasi — dan mengajak kita kembali pada tujuan hakikinya: ketaatan kepada Allah (swt).

Hijab sebagai Simbol Penindasan

Dalam imajinasi modern Barat, hijab sering dilihat melalui lensa sekuler dan orientalis. Ia dianggap tidak sejalan dengan ideal-ideal liberal tentang kebebasan dan kesetaraan gender.

Narasi media kerap menyamakan jilbab dengan bentuk pengekangan, sambil menghapus suara perempuan Muslim yang mengenakannya sebagai pilihan iman. Pandangan ini diperkuat oleh berbagai kebijakan negara-negara Eropa, di mana hijab menjadi objek perdebatan hukum.

Prancis, misalnya, melarang simbol-simbol keagamaan di sekolah negeri sejak 2004, dan melarang cadar pada 2010 dengan alasan menjaga laïcité (sekularisme). Pada tahun 2024, Senat Prancis kembali melarang pemakaian hijab dalam semua kompetisi olahraga.

Di berbagai negara Eropa dan sebagian Amerika Utara, banyak perempuan Muslim melaporkan diskriminasi di tempat kerja, pendidikan, dan ruang publik hanya karena mengenakan simbol lahiriah keimanan mereka.

Perang verbal dan fisik terhadap hijab ini tidak hanya membatasi hak perempuan Muslim, tetapi juga membingkai praktik keagamaan mereka seolah-olah bermasalah. Akibatnya, hijab menjadi sesuatu yang distigmatisasi, atau justru disalahpahami.

Tujuan Qur’ani dari Hijab

Hijab akan selalu menjadi perintah yang jelas dari Allah (swt). Hakikatnya tidak terletak pada politik atau estetika, melainkan pada spiritualitas dan ketaatan.

Allah (swt) berfirman:

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman agar mereka menundukkan pandangan, menjaga kemaluannya, dan tidak menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak darinya; dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya.”
(QS. An-Nūr [24]: 31)

Dan juga:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ

“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan perempuan-perempuan mukmin agar mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenal dan tidak diganggu.”
(QS. Al-Ahzāb [33]: 59)

Ayat-ayat ini menekankan kesopanan, kehormatan, dan kemuliaan di ruang publik.
Hijab berfungsi sebagai perlindungan dan identitas iman, bukan sekadar aksesori atau simbol politik.

Ketika ayat-ayat ini diturunkan, para perempuan Madinah langsung menanggapinya dengan ketaatan penuh. ‘Aisyah (ra) meriwayatkan:

«يَرْحَمُ اللَّهُ نِسَاءَ الْمُهَاجِرَاتِ الْأُوَلَ… شَقَّقْنَ مُرُوطَهُنَّ فَاخْتَمَرْنَ بِهَا»

“Semoga Allah merahmati para perempuan Muhajirat pertama. Ketika Allah menurunkan ayat: ‘Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya,’ mereka segera merobek kain mereka dan menutupkan ke kepala mereka.”
(HR. Bukhari)

Ketaatan spontan itu mencerminkan keimanan yang murni dan kepasrahan total.
Hijab bagi mereka bukan norma budaya, bukan pula tren sosial — tetapi bukti cinta dan penghambaan kepada Allah (swt).

 

Bangkitnya Industri “Busana Syar’i”

Beberapa tahun terakhir, pandangan global terhadap hijab berubah drastis.
Apa yang dulu dianggap simbol keterbelakangan, kini menjadi komoditas industri fashion.

Menurut Global Islamic Economy Report 2023, pengeluaran konsumen Muslim untuk pakaian dan alas kaki mencapai lebih dari USD 313 miliar, dengan nilai industri modest fashion sekitar USD 91 miliar pada 2024, dan diproyeksikan mencapai USD 146 miliar pada 2033 (Business Research Insights, 2024).

Merek-merek besar seperti Nike, Adidas, dan Uniqlo kini meluncurkan koleksi pakaian sopan.

Sementara merek Muslim seperti Haute Hijab, Veiled Collection, dan Modanisa telah dikenal secara global.

Fenomena ini memang membawa dampak positif, seperti memudahkan Muslimah muda mengakses busana tertutup.
Namun, bersamaan dengan itu muncul pergeseran makna: dari kesopanan sebagai ibadah, menjadi kesopanan sebagai ekspresi diri.

Dari Ibadah Menjadi Fashion

Dalam upaya menormalkan dan memperindah hijab, inti spiritualnya justru kian terancam hilang.

Hijab yang seharusnya mengurangi perhatian publik kini justru didesain untuk menarik perhatian.

Kainnya semakin tipis, potongannya semakin mengikuti lekuk tubuh, dan batas antara “sopan” dan “glamor” semakin kabur.

Rasulullah (saw) bersabda:

“Ada dua golongan penghuni neraka yang belum pernah aku lihat sebelumnya…
wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang, berjalan dengan gaya menggoda, rambutnya seperti punuk unta miring; mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya.” (HR. Muslim, 2128)

Hadis ini bukanlah larangan untuk memperhatikan penampilan, tetapi peringatan keras agar kesopanan tidak dikorbankan demi gaya.
Ketika hijab menjadi tren, maka tujuan sejatinya — kerendahan hati di hadapan Allah — bisa hilang.

Komersialisasi Ibadah

Fenomena komersialisasi hijab menambah tantangan baru.
Ketika “kesopanan” berubah menjadi industri, praktik spiritual berisiko tereduksi menjadi strategi pemasaran.
Hijab tidak lagi diperkenalkan sebagai perintah Allah (swt), tetapi sebagai aksesori, gaya hidup, atau identitas merek.

Budaya influencer memperkuat hal ini.
Banyak konten kreator — meski dengan niat baik — tanpa sadar menampilkan versi performatif dari kesopanan, yang dibuat untuk konsumsi media sosial.
Akibatnya, hijab berubah menjadi konten, bukan bentuk penghambaan.

Pertanyaan yang perlu kita renungkan:

Apakah kita mengenakan hijab untuk ridha Allah (swt), atau untuk penerimaan manusia?

Apakah kita mempraktikkan kesopanan, atau sekadar memperagakannya?

 

Mengembalikan Pusat Makna Hijab

Tujuan hijab bukan untuk mengesankan, tetapi untuk menyatakan ketundukan.

Allah (swt) berfirman:

وَلِبَاسُ التَّقْوَىَ ذَلِكَ خَيْرٌ

“Dan pakaian takwa itulah yang paling baik.”
(QS. Al-A‘rāf [7]: 26)

Kesopanan sejati tidak diukur dari tebal kain atau jumlah pengikut, tetapi dari ketakwaan.
Hijab seharusnya menumbuhkan kerendahan hati, bukan kesombongan; keindahan ruhani, bukan kekaguman duniawi.

Perempuan Muslim tidak dilarang tampil modis atau profesional.
Islam justru mendorong kebersihan, kehormatan, dan harga diri.
Namun, fashion harus melayani iman — bukan sebaliknya.

 

Ditulis untuk Kantor Media Pusat Hizb ut Tahrir oleh Sumaya binti Khayyat

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: