Dari Kurangnya Bukti Kasus ‘Ayah Perkosa Tiga Anak‘ hingga #PercumaLaporPolisi

 Dari Kurangnya Bukti Kasus ‘Ayah Perkosa Tiga Anak‘ hingga #PercumaLaporPolisi

Mediaumat.news – Terkait kurangnya barang bukti yang dijadijan alasan kepolisian menghentikan penyelidikan kasus ‘ayah perkosa tiga anak‘ di Luwu Timur, Sulawesi Selatan pada 2019, hingga berdampak trennya tagar #PercumaLaporPolisi beberapa waktu lalu, Dr. Muh. Sjaiful, S.H., M. Hum. dari Indonesian Justice Monitor (IJM) justru mengatakan, masalah barang bukti bisa dicari.

“Harusnya polisi itu menjelaskan, kenapa ini tidak bisa dilanjutkan? Kenapa barang bukti ini tidak bisa ditemukan? Atau kalau barang buktinya tidak bisa ditemukan, kan bisa dicari barang bukti yang lain atau alat bukti yang lainnya,” tuturnya dalam Kabar Petang: #PercumaLaporPolisi Tanda Rakyat Kecewa, Selasa (12/10/2021) di kanal YouTube KC News.

Ia menjelaskan, alat bukti itu nantinya memang digunakan sebagai petunjuk mengungkap tindak pidana yang ditangani oleh pihak kepolisian. Sehingga jaminan keadilan yang merupakan bagian penegakan hukum, bisa didapatkan masyarakat.

Tetapi, kalau pun alat bukti memang kurang, imbuhnya, pasti ada alat petunjuk lain yang bisa memperkuat bahwa suatu tindak pidana betul-betul sudah terjadi. “Yang namanya tindak pidana, ya itu harus diproses lebih lanjut oleh pihak kepolisian,” katanya.

Sementara, menurut Sjaiful, penghentian penyelidikan suatu kasus menunjukkan kekurangprofesionalan. Artinya, lanjut Sjaiful, pernyataan bahwa sebuah kasus tidak bisa dilanjutkan karena kurangnya bukti dan tidak bisa diajukan ke pengadilan, semestinya dijadikan kesempatan menunjukkan keprofesionalan kepolisian.

Sehingga, lanjutnya, masyarakat yang memiliki persepsi negatif dengan lantas menaruh ketidakpercayaan pada institusi kepolisian, tidaklah salah. Karena memang kasus lain yang dipetieskan atau mandeg jumlahnya banyak.

Meskipun secara eksternal pemerintah sudah membentuk lembaga pengawas kepolisian, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), ternyata juga tak bisa memberikan semacam rekomendasi. Atau paling tidak memberikan peringatan keras pada kepolisian dari setiap indikasi ketidakseriusan menangani suatu kasus.

“Padahal, keberadaan mereka, Kompolnas ini harusnya bertindak independen, harusnya bertindak tanpa tendensi apa-apa. Dan harus bertindak mengedepankan bagaimana betul-betul mengawasi pekerjaan kepolisian itu supaya lebih maksimal, lebih efektif, lebih memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat,” tegasnya.

Perspektif Islam

Dari polemik yang ditunjukkan lembaga penegak hukum saat ini, Sjaiful menilai, amat perlunya hal tersebut dipandang dari perspektif Islam. “Segala persoalan yang dihadapi oleh rakyat ini terutama yang mayoritas Muslim itu tentu harus dengan sudut pandang Islam,” tandasnya.

Ia beralasan, bahwa Islam tidak sekadar sebagai ibadah ritual. Tetapi sebuah sistem atau tatanan kehidupan dan merupakan wujud keimanan seorang Muslim yang turut berupaya menerapkannya.

Secara empiris, tambah Sjaiful, penerapan Islam sebagai sebuah sistem kehidupan bisa dilihat sebagaimana masa Rasulullah SAW maupun Khulafaur Rasyidin. “Terutama kita bisa lihat pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab ketika menangani keluhan dari warga negara terkait dengan tindakan atau perilaku aparat, pejabat negara atau perilaku masyarakat lainnya yang melakukan tindakan-tindakan yang merugikan. Apalagi sampai melanggar hak-hak orang lain,” ungkapnya.

Sehingga, tutur Sjaiful, betapa Islam sebagai sebuah sistem, tatanan dan aturan, juga menghendaki pengakomodiran pelayanan-pelayanan hukum kepada masyarakat. “Islam itu memang betul-betul memberikan pelayanan dan jaminan terhadap hak-hak setiap manusia. Siapa pun manusia itu,” ujarnya.

Bahkan sambungnya, terkait non-Muslim, Khalifah Umar bin Khattab marah besar kepada seorang gubernurnya di Mesir yang kala itu semena-mena menggusur rumah milik orang Yahudi. Begitu juga ketika aduan Khalifah Ali bin Abi Thalib sempat ditolak majelis hakim terkait tuduhan pencurian baju besinya oleh orang Yahudi. “Jangan dipikir bahwa ketika Islam ini sebagai tatanan kehidupan yang memberikan pelayanan hukum, itu hanya menjamin hak-hak orang kaum Muslim saja. Tidak demikian,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *