Oleh: Maman Abdullah
Gunung Dana Membeku, UMKM Tercekik
OJK baru-baru ini merilis data mengejutkan: kredit nganggur di bank menembus lebih dari Rp 2.000 triliun. Dana jumbo yang sejatinya sudah disetujui itu justru tidak ditarik oleh debitur. Uang yang semestinya menjadi darah bagi sawah, bengkel, pabrik, dan pasar malah membeku di sistem perbankan. Ironis, ketika rakyat di sektor riil berteriak kehausan modal, dana raksasa itu tidur nyaman di neraca bank.
Padahal, di lapangan kondisinya jauh berbeda. UMKM yang menyerap lebih dari 97 persen tenaga kerja nasional kesulitan memperoleh modal. Petani tercekik harga pupuk, nelayan tidak bisa memperbaiki perahu, dan industri kecil terseok menutup biaya produksi. Uang yang berlimpah tidak mengalir kepada mereka. Beginilah paradoks kapitalisme: rakyat kehausan, sementara dana menggunung tetap mengendap.
Bankir Cari Aman, Kapitalisme Menyisihkan Rakyat
Bank tentu punya alasan. Mereka tidak bisa membiarkan dana hanya diam karena tetap harus membayar bunga kepada deposan. Bila dana tidak diputar, bank justru merugi. Maka jalan aman dipilih: parkir dana di surat berharga negara, obligasi BUMN, atau instrumen valas yang jelas underlying-nya. Dari sisi manajemen risiko, langkah ini dianggap logis. Tetapi dari sisi rakyat, dana itu tetap tak menyentuh kehidupan mereka.
Fenomena kredit nganggur ini sekaligus menunjukkan ketimpangan: dana jumbo mengalir ke segelintir korporasi besar, sementara jutaan UMKM harus puas dengan recehan. Satu pinjaman triliunan dengan agunan jelas lebih disukai bank daripada ribuan kredit kecil penuh risiko. Bahkan lebih tragis lagi, dana yang tidak terserap sektor riil sering dialihkan ke instrumen spekulatif: saham, surat berharga, hingga valas. Sejarah pernah mencatat kasus Bank Bali, bagaimana dana bank berubah jadi alat permainan elite politik. Semua ini menyingkap wajah asli kapitalisme: uang lebih nyaman diputar di sektor keuangan ketimbang bekerja untuk rakyat.
Islam Menutup Riba, Menghidupkan Syirkah
Inilah buah busuk sistem riba. Kapitalisme membuat uang seolah bisa beranak-pinak dari dirinya sendiri. Pemilik modal cukup duduk manis menerima bunga, sementara rakyat dibiarkan menanggung beban. Padahal, sebagaimana ditegaskan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Sistem Ekonomi Islam, uang bukanlah komoditas. Ia hanya sah berkembang melalui aktivitas riil: perdagangan, produksi, dan jasa.
Karena itu, Islam menutup pintu riba dan menggantinya dengan syirkah, yaitu kerja sama usaha yang adil. Syirkah memiliki banyak bentuk: ada syirkah mudharabah, syirkah ‘inan, syirkah abdan, syirkah wujuh, hingga syirkah mufawadhah. Semuanya meniscayakan pembagian keuntungan sesuai kesepakatan, dan kerugian ditanggung proporsional sesuai modal atau kontribusi. Dengan syirkah, dana dipaksa masuk ke sektor produktif. Bank dan pengusaha bermitra, berbagi risiko, dan sama-sama berjuang membangun usaha nyata.
Bayangkan jika Rp 2.000 triliun dana nganggur itu benar-benar dialirkan melalui mekanisme syirkah. Berapa banyak lapangan kerja tercipta? Berapa banyak UMKM naik kelas? Berapa banyak keluarga terangkat dari jerat kemiskinan?
Fenomena dana nganggur ini adalah tamparan keras. Selama bunga dilegalkan, uang akan tetap lebih nyaman tidur di bank atau berputar di surat berharga. Jalan keluarnya jelas: tinggalkan kapitalisme, tegakkan sistem ekonomi Islam. Dengan syirkah sebagai ruh kerja sama usaha, uang tidak lagi menganggur, rakyat pun tidak lagi dibiarkan menganggur.
Penulis: Magister Pendidikan dan Pengasuh Pondok Tahfiz tinggal di Garut