MediaUmat.info – Menanggapi isu peningkatan kerja sama pertahanan dan keamanan Indonesia-Cina, Peneliti Masyarakat Sosial Politik Indonesia (MSPI) Dr. Riyan, M.Ag. menduga yang paling diuntungkan adalah Cina.
“Patut diduga sebenarnya yang lebih diuntungkan dalam kerja sama bilateral ini adalah Cina. Mengingat postur dan kekuatan pertahanan Cina lebih kuat dan lebih berpengaruh di bandingkan dengan Indonesia,” ujarnya kepada media-umat.info, Rabu (23/4/2025).
Fakta peningkatan kerja sama pertahanan ini, menurut Riyan, adalah tindak lanjut dari pertemuan Presiden Prabowo dan Presiden Xi Jinping sebelumnya. Dari lokasi pertemuan kedua belah pihak yaitu di Beijing pada 21 April 2025, bisa ditangkap indikasinya bahwa yang lebih membutuhkan dari kerja sama tersebut adalah Indonesia. Karena yang membutuhkan biasanya yang mendatangi pihak yang dibutuhkan.
Ia mengingatkan, secara ideologis, Cina adalah negara berpaham politik komunisme. Meskipun Cina secara ekonomi memanfaatkan kapitalisme untuk menutupi kelemahan komunisme. Maka kerja sama apapun dengan Cina harus diwaspadai dari sisi ideologis sebelum bicara tentang manfaat pragmatisnya. Bahkan lebih jauh harus diputuskan (disetop) kerja sama tersebut bukan malah peningkatan kerja sama.
Pasalnya, jelas Riyan, dalam peningkatan kerja sama ini, Indonesia berpotensi sekadar menjadi objek yang dimanfaatkan oleh Cina. Misalnya, di dalam kasus Laut Cina Selatan (LCS) untuk melawan dominasi AS.
“Karena terbukti, di LCS pun kita sering tidak berkutik dengan berbagai pelanggaran batas laut yang diklaim oleh Cina,” ungkapnya.
Bahaya selanjutnya, kata Riyan, bila dikaitkan dengan kasus separatisme Papua yang terus disuarakan. Misalnya, oleh negara Vanuatu yang merupakan kepanjangan tangan (proxy) Cina. Sehingga Vanuatu berani melawan Indonesia dengan mendukung Papua Merdeka.
“Apakah Cina akan terus cawe-cawe dengan masalah separatisme Papua dengan mendukung Vanuatu dan negara-negara kepulauan Pasifik lainnya? Bila itu tetap terjadi, sesungguhnya Indonesia hanya sekadar menjadi objek dari apa yang diklaim sebagai kerja sama pertahanan,” ucap Riyan.
Kemudian, Riyan memandang, dalam konteks isu keamanan dalam negeri Cina, apakah Cina akan terus melakukan berbagai kebijakan yang penuh dengan kekerasan dan penindasan terhadap kaum Muslim Uighur di Xinjiang?
“Tentu, sebagai negeri dengan jumlah Muslim terbesar, Indonesia harus bersuara lantang tentang praktik penindasan (Cina terhadap) Muslim Uighur bukan malah makin diam karena dalih kerjasama Indonesia-Cina atau karena Cina banyak memberikan utang,” tegasnya.
Kerja Sama Negara dalam Islam
Riyan membeberkan, di dalam Islam, politik luar negeri negara Islam (khilafah Islam) adalah dakwah dan jihad. Maka interaksi dan kerja sama apa pun harus didasarkan kepada kepentingan dakwah Islam.
Ia melihat, Cina adalah negara kafir harbi fi’lan, sebagaimana Amerika Serikat, karena terang-terangan melakukan penindasan kepada Muslim Uighur dan mendukung separatisme Papua, dan sengaja melakukan berbagai pelanggaran laut Indonesia di LCS.
Seharusnya, kata Riyan, sikap islami yang tegas adalah bukan kerja sama tetapi permusuhan dan pemutusan hubungan diplomatik dengan Cina.
“Sikap tegas ini harus diambil agar jangan sampai, negara justru melakukan pengkhianatan kepada umat Islam terutama di Uighur Cina dengan menutupi mata bahkan membisu dan menganggap itu urusan dalam negeri Cina. Atau membiarkan rongrongan separatisme Papua yang didukung Cina tetap berlangsung,” sebutnya.
Riyan juga menyebut, yang harusnya dilakukan selanjutnya oleh khilafah Islam adalah memerangi musuh-musuh Islam yang nyata-nyata melakukan penindasan terhadap umat Islam (Uighur), melakukan dukungan terhadap gerakan separatisme (kasus Papua), dan melakukan berbagai provokasi dan pelanggaran wilayah laut (dalam kasus LCS).[] Agung Sumartono
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat