Cegah Gesekan, Kristolog Sebut SKB 2 Menteri tentang Rumah Ibadah Sudah Bagus

Mediaumat.id – Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, yang juga dikenal dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) 2 Menteri tentang rumah ibadah, dinilai sudah bagus.
“Isi PBM ini sebetulnya itu sudah bagus, sepanjang ini dipatuhi oleh tokoh-tokoh agama,” ungkap Kristolog Ustadz Abu Deedat Syihabbuddin kepada Mediaumat.id, Rabu (7/6/2023).
Menurutnya, aturan ini disusun memang agar tak terjadi gesekan di tengah masyarakat. “Peraturan itu kan dibuat supaya justru tidak terjadi konflik dan gesekan,” ulasnya.
Namun, dengan dalih banyaknya penolakan pembangunan rumah ibadah agama tertentu berikut kegiatan peribadatannya, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas, sebagaimana diberitakan, tengah menyusun aturan terkait izin pendirian rumah ibadah yang cukup dengan satu rekomendasi, yaitu dari Kementerian Agama (Kemenag) saja.
Padahal, kata Abu Deedat, dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Mendagri Nomor 9 Tahun 2006 yang berlaku saat ini, izin pembangunan rumah ibadah harus mendapatkan rekomendasi dari Kemenag dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Sebutlah aksi yang baru-baru ini terjadi yakni penolakan oleh masyarakat setempat terhadap aktivitas peribadatan Jemaat Gereja Mawar Sharon (GMS) di Kelurahan Satia, Kecamatan Binjai Kota, Kota Binjai, Sumatera Utara.
Seperti diterangkan, ternyata duduk perkaranya dikarenakan tidak terpenuhinya persyaratan mengenai pendirian rumah ibadah di wilayah itu. Yang berarti, ketentuan dari SKB 2 Menteri tentang rumah ibadah tak dilakukan.
Menegaskan hal ini, Kepala Dinas Kominfo Kota Binjai, Sofyan Siregar, pun mengungkapkan, peristiwa yang terjadi pada Jumat, 19 Mei 2023 lalu itu memang dikarenakan tempat peribadatan dimaksud tidak memiliki izin sebagai rumah ibadah.
Menurut Siregar, lokasi yang dijadikan tempat ibadah oleh jemaat tersebut merupakan warung kopi dengan dua lantai. Lantai satu warung kopi, sedangkan lantai dua dijadikan tempat ibadah.
“Jualan kopi, lantai dua, jadi itu sewa, iya (ruko) seperti tempat jualan kopilah di atasnya dijadikan tempat ibadah,” ucapnya, ketika dikonfirmasi, Rabu (31/5/2023).
Menanggapi insiden ini, lebih lanjut Abu Deedat pun kembali menyinggung perihal SKB 2 Menteri tentang rumah ibadah, yang semestinya dipatuhi oleh para tokoh agama yang diakui di negeri ini, yang tergabung di dalam FKUB di masing-masing wilayah setempat.
Artinya, kalaupun selama ini muncul permasalahan di lapangan semacam penolakan pendirian rumah ibadah berikut aktivitas peribadatan agamanya, menurut Abu Deedat, bukan disebabkan oleh peraturannya, tetapi kelompok tertentu yang memaksakan kehendak.
“Karena memang ada kelompok-kelompok tertentu yang memaksakan diri untuk mendirikan tempat ibadah yang itu sudah diatur,” terangnya.
Sehingga, menurutnya pula, syarat rekomendasi dari FKUB tidak boleh dihilangkan, sehingga menjadi cukup rekomendasi dari Kemenag saja.
“Kalau justru menghilangkan rekomendasi dari FKUB, hanya dari Kementerian Agama, itu akan lebih banyak masalah nantinya,” ucapnya.
“Saya yakin itu, karena tidak melibatkan tokoh-tokoh agama yang mewakili,” tambahnya.
Maknanya, berbagai macam polemik hingga gesekan terkait rumah ibadah yang terjadi antar umat beragama selama ini, memang karena menyalahi SKB 2 Menteri tersebut. “Kalau dipatuhi, tidak akan ada (gesekan),” ujarnya.
Syarat Khusus
Untuk dipahami bersama, selain prinsip kebutuhan, Abu Deedat juga menyebut ketentuan dalam pendirian rumah ibadah di dalam SKB 2 Menteri ini harus memenuhi persyaratan administratif dan teknis bangunan gedung.
Selain itu, ada juga persyaratan khusus yang harus dipenuhi. Di antaranya, daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat. Begitu juga dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa, juga harus dipenuhi.
“Ini harus ditempuh,” tegas laki-laki kelahiran Tasikmalaya, 28 Juni 1960 itu, mengenai ketentuan khusus dimaksud.
Yang perlu diingat juga, imbuhnya, SKB 2 Menteri tentang rumah ibadah ini juga berlaku bagi umat Islam di daerah yang mayoritas non-Muslim. “Kalau bicara ini, umat Islam misalnya di NTT atau di daerah-daerah seperti di Bali tidak mudah untuk mendirikan masjid,” bebernya.
Pun secara penyebaran agama, menurut Abu Deedat, umat Islam juga punya kewajiban melakukan itu. “Kalau bicara punya kewajiban, orang Islam punya kewajiban juga mendakwahkan Islam kepada non-Muslim,” paparnya.
Namun hal ini tidak dilakukan, karena memang di dalam ajaran Islam tidak boleh memaksakan kehendak, apalagi di lingkungan mayoritas non-Muslim.
Kristenisasi?
Di sisi lain, Abu Deedat memandang, makin maraknya aktivitas peribadatan umat Kristen di lingkungan mayoritas Muslim, sebagai bagian dari misi agama yang termaktub di dalam kitab suci mereka.
“Mereka punya misi bagaimana menyebarkan, seluruh dunia ini dijadikan menjadi pengikut Kristus, di Matius 28 ayat 19,” paparnya.
“Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,” demikian kutipan Kitab Matius 28:19.
Dengan kata lain, menurutnya, ke mana saja orang Kristen (dari kata sifat bahasa Belanda Christen, pengikut Kristus) pergi, diharuskan membaptis orang lain. “Ke mana saja mereka, harus baptis orang,” tandas Abu Deedat.
Maka berangkat dari sini, ia berharap kepada pemerintah dalam hal ini Kemenag untuk bisa memahami sebab musabab dimunculkannya syarat dan ketentuan tentang pendirian rumah ibadah, dengan tidak menggagas penghapusan syarat rekomendasi dari FKUB.[] Zainul Krian