Bupati Kep Meranti Keluhkan Minimnya Bagi Hasil Migas, Begini Kata IJM

 Bupati Kep Meranti Keluhkan Minimnya Bagi Hasil Migas, Begini Kata IJM

Mediaumat.id – Terkait minimnya perolehan Dana Bagi Hasil (DBH) dari sektor tambang dalam hal ini minyak bumi dan gas (migas) yang lantas dikeluhkan oleh kepala daerah Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, Direktur Indonesian Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardhana mengatakan begini.

“Kalau saya boleh protes jauh, harusnya kita memprotes bukan sekadar pembagian transfer dana bagi hasil, tetapi kita harus memprotes sebenarnya sumber daya alam kita ini untuk siapa keberpihakannya,” ujarnya dalam Persepektif: Siap Angkat Senjata, Wilayah Ini Ancam Hengkang dari Indonesia, Selasa (13/12/2022) di kanal YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data.

Maksudnya, bupati dari wilayah yang memiliki tujuh kecamatan tersebut harusnya tak sekadar memprotes pembagian DBH dari sektor pajak saja, tetapi lebih kepada hak atas tambang yang seharusnya dikelola sendiri oleh pemerintah daerah, bukan swasta.

Sehingga lebih jauh, negara ini pun bisa memperoleh pemasukan dari raw material atau bahan mentah langsung berikut nilai yang terkandung di dalamnya yang tentu saja cukup besar, bukan dari sektor pajak saja.

Sebagaimana diketahui, jenis-jenis DBH ada dua, yaitu DBH Pajak, meliputi: DBH Pajak Bumi dan Bangunan (DBH-PBB), DBH Pajak Penghasilan (DBH-PPh), DBH Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT). Berikutnya DBH Sumber Daya Alam (SDA) meliputi: DBH Kehutanan. DBH Mineral dan Batu Bara, DBH Minyak Bumi dan Gas Bumi (Migas), DBH Pengusahaan Panas Bumi, DBH Perikanan.

Meski Agung memandang DBH yang menjadi keluhan bupati dimaksud termasuk kategori kedua, yakni DBH SDA, tetapi besaran angka yang dipermasalahkan adalah adalah nilai dari pajaknya. “Saya membaca DBH sumber daya alam itu bukan bermakna kekayaan yang sebenarnya itu, tetapi cenderung apa yang kemudian disebut dengan pemasukan pajak kepada negara,” kata Agung menyayangkan.

Jelasnya, sebagaimana kabar teranyar, Bupati Kepulauan Meranti, Riau, Muhammad Adil mengeluhkan soal penghitungan DBH yang tidak adil. Sebab, di saat harga minyak mentah dunia menembus USD100 per barel, pemerintah pusat masih saja menggunakan rumus pembagian di angka USD60.

“Saya melihat kenaikan pada angka menengah karena kita tahu bahwa beberapa waktu terakhir dari tahun 2021 ke sini, itu kan angka-angka harga minyak dunia memang menembus sampai USD100 per barel,” ulas Agung.

Tak ayal, daerah yang dikenal dengan hasil sumber daya alamnya, yaitu pertambangan minyak dan gas bumi, perairan, serta wilayah pesisir dan laut, itu pun hanya mendapatkan sekitar Rp114 miliar dari DBH Migas (baca: DBH Pajak Migas).

Padahal, dilansir Jawapos.com (12/12), kesejahteraan masyarakatnya masih rendah. Buktinya, di Kepulauan Meranti terdapat 34,85 persen rumah tangga miskin.

Namun, lanjut Agung, apabila mengacu pada ketentuan di UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, besaran angka DBH yang menjadi hak daerah sudah sesuai ketentuan.

“Di pasal 117 ini juga di ayat 2 dan 3 itu kita bisa membaca bahwa untuk DBH sumber daya alam minyak bumi yang dihasilkan dari wilayah darat dan wilayah laut sampai dengan 4 mil dari garis pantai itu ditetapkan sebesar 15,5 persen yang dibagikan,” ungkapnya, dengan rincian pembagian tersebut untuk provinsi, kabupaten kota bersangkutan, hingga wilayah pengilangan minyak.

Namun demikian, aturan ini mungkin tidak memuaskan banyak kalangan terutama di daerah-daerah penghasil migas, apalagi ketika terjadi penaikan harga komoditas.

Makanya, ia tak heran apabila kabupaten maupun kota seperti Kepulauan Meranti yang notabene memiliki kewenangan luas terkait dengan konteks SDA ini, kurang mengikuti prinsip desentralisasi dalam perspektif finansial keuangan.

Agung menambahkan, Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim) Awang Faroek Ishak juga pernah memunculkan keluh kesah yang sama. “Kita membaca bagaimana kondisi infrastruktur misalnya di wilayah-wilayah penghasil minyak juga penghasil batu bara ini kan sangat menyedihkan sekali,” ulas Agung, berkenaan kondisi wilayah Kaltim.

Lebih-lebih ketika ia melihat akses di provinsi lain semisal Sulawesi Tenggara, Selatan, hingga Papua yang jauh lebih rumit. “Apa yang disampaikan Pak Adil ini bisa memicu yang lain untuk berbicara yang sama,” sambungnya.

Makar?

Oleh karena itu, dalam penanganannya, ia mengimbau pemerintah pusat tidak salah menerapkan konsep dengan menganggap makar, misalnya. “Waduh itu tambah enggak karu-karuan pasti akan terjadi di masyarakat kita,” ucapnya, yang menyebutkan keluh kesah sang bupati telah mendapatkan dukungan cukup besar dari warganet.

Tetapi jika tak ditangani dengan tepat, pun sangat berpeluang terjadi hal sama di tempat-tempat lain. Sebab persoalan ini menyangkut kedaulatan dan juga peluang terjadinya revolusi serta perlawanan rakyat karena kesenjangan sosial akibat ketidakadilan itu.

Bahkan kabar terbaru, Gubernur Riau Syamsuar yang dalam beberapa waktu belakangan selalu berseberangan dengan Bupati Muhammad Adil, kali ini, seolah mendukung terkait DBH Migas dimaksud yang diterima oleh kabupaten termuda di Riau itu.

Hal sama juga dilakukan oleh Gubernur Sumatra Selatan (Sumsel) Herman Deru. Dirinya mendukung protes yang dilayangkan Bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil terkait skema DBH Migas. Malahan dia mengklaim pihaknya juga sering memprotes skema pembagian yang dinilai tidak adil.

Gubernur Herman mencontohkan, Kota Prabumulih sebagai daerah penghasil minyak di Sumsel mendapat DBH yang tidak sebanding. Justru, kota itu masuk dalam kategori daerah yang mendapat DBH Migas untuk daerah bukan penghasil.

Lantaran itu, ketidakadilan ini sangat berpotensi memunculkan kondisi-kondisi yang lebih parah. “Kondisi ketidakadilan demikian inilah yang akan bisa menimbulkan kondisi-kondisi yang lebih parah,” khawatir Agung.

Namun di saat yang sama, ia tidak terlalu percaya dengan perbaikan undang-undang, seandainya ketentuan penghitungan DBH ke depan direvisi misalnya.

Sebabnya, sistem pengelolaan sumber daya alam yang ada sekarang memang berorientasi liberalisme yang ujung-ujungnya tentu tidak baik dalam konteks distribusi sumber daya alam dan kesenjangan sosial kaya dan miskin bakal makin lebar.

Untuk itu, Agung mengajak agar umat mulai bersuara untuk menggantikan sistem liberalisme yang saat ini diterapkan dalam hal pengelolaan sumber daya alam termasuk minyak dan gas dimaksud.

“Setiap kali dalam setiap perjumpaan saya menawarkan Islam sebagai satu sistem yang bisa digunakan untuk menyelesaikan kasus Meranti dan juga kasus-kasus yang lainnya yang sama,” tutupnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *